Balikpapan (ANTARAKaltim)- Kerusakan lingkungan di Teluk Balikpapan, Kalimantan Timur mengancam kehidupan sekitar 3.000 nelayan penangkap ikan dan pembudidaya rumput laut di Balikpapan dan Penajam Paser Utara yang berada di kedua sisi teluk.
"Pencemaran Teluk Balikpapan selain mengancam sektor perikanan juga ekowisata," kata Agus Bei, pelestari mangrove dari Graha Indah, Kariangau, Balikpapan Utara, Senin.
Ia bersama para tetangganya di Graha Indah sukses menghutankan kembali kawasan hutan mangrove di sisi barat dan utara komplek perumahan mereka tersebut.
Menurut dia, lingkungan di Teluk Balikpapan mendapat beban oleh banyak kegiatan manusia, mulai dari pembabatan hutan mangrove hingga hutan daratan di daerah hulu, aktivitas pabrik kelapa sawit, reklamasi pantai, hingga galangan kapal dan pelabuhan di hilir.
Niat PT Wilmar Nabati Indonesia (WINA) untuk menambah luasan pabrik kelapa sawit dengan membabat hutan mangrove bernilai keanekaragaman hayati tinggi memberi tekanan semakin berat kepada lingkungan.
Agus mengatakan, seluruh aktivitas itu bisa mematikan perikanan tradisional dan pariwisata karena menyebabkan kerusakan ekosistem akibat pembukaan lahan, kerusakan hutan dan reklamasi pantai, meningkatnya kebisingan bawah air, dan polusi industri seperti limbah oli atau cat dari kapal-kapal.
"Teluk Balikpapan mewakili sistem sirkulasi air relatif tertutup," ungkap Stanislav Lhota, Peneliti Lingkungan dan Hewan dari Universitas Life Sciences di Praha, Republik Ceko.
Lhota telah meneliti perikehidupan dan lingkungan di Teluk Balikpapan selama satu dekade terakhir.
Menurut dia, dengan sirkulasi air yang terbatas dan lambat meskipun terhubung dengan Selat Makassar, membuat sedimen (partikel yang tidak larut di dalam air) dan limbah-limbah industri, tidak mengalir terus ke laut terbuka.
Sedimen itu, kata dia, terakumulasi di Teluk Balikpapan. Pada 2012. Pihaknya pernah mengukur kedalaman Teluk Balikpapan di Buoy dekat pelabuhan ferry sekarang, dan mendapat angka keadalaman laut 39 meter.
"Beberapa tahun sebelumnya, kedalaman teluk di itu mencapai 42 meter lebih," kata Lhota.
Pada bagian yang dangkal seperti ke arah hulu, timbul sedimentasi yang cukup parah, yang menyebabkan kematian ekosistem seperti terumbu karang dan padang lamun. Padahal padang lamun ini area makan utama bagi duyung atau pesut laut.
Selanjutnya, kata dia, partikel sedimen di air menghalangi banyak cahaya masuk ke dalam air. Karena kekurangan cahaya, produktivitas secara keseluruhan ekosistem menurun.
"Padang lamun, terumbu karang, juga sela-sela akar bakau di hutan mangrove adalah tempat ikan bertelur dan berkembang biak. Kerusakan tempat-tempat itu berarti ikan terhalang untuk berkembang biak," kata Lhota.(*)