Tenggarong (ANTARA Kaltim) - Prosesi "Belimbur" atau saling siram air menandai puncak Erau Adat Kutai yang berlangsung selama sepekan yakni mulai 21-28 Agustus 2016.
Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari pada penutupan Erau Adat Kutai dan "International Folk Art Festival" di Kota Tenggarong, Minggu mengatakan "Belimbur" merupakan salah satu budaya asli Kutai yang unik dan harus dilestarikan.
"Tidak apa basah-basahan dalam Belimbur karena ini merupakan budaya yang unik dan perlu dilestarikan, namun tidak boleh berlebihan, apa lagi sampai menghilangkan makna belimbur yakni mensucikan diri," ujar Rita Widyasari.
Belimbur dimulai setelah Air Tuli dari Kutai Lama tiba di Tenggarong, lalu digelar prosesi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura HAM Salehuddin II naik ke "Rangga Titi" atau balai yang terbuat dari bambu kuning.
Pada prosesi ini Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura HAM Salehuddin II memercikkan Air Tuli ke dirinya sendiri dengan mayang pinang lalu setelah itu, di percikkan ke orang-orang di sekelilingnya.
Ketika Sultan memercikkan air ke orang disekitarnya itulah yang menjadi tanda bahwa Belimbur dimulai yang langsung disambut perang air oleh pengunjung yang telah berada di sekitar Musium Mulawarman maupun masyarakat di seluruh penjuru Kota Tenggarong.
Koordinator Sakral Erau Kesultanan Kutai, Awang Demang Natakrama mengatakan, Belimbur bermakna pensucian diri dari pengaruh jahat sehingga kembali suci dan menambah semangat dalam membangun daerah.
"Lingkungan dan sekitarnya juga bersih dari pengaruh yang tidak baik serta diharapkan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan," jelas Awang Demang Natarkama.
Selain warga yang tumpah ruah ke jalan untuk Belimbur, Bupati Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari beserta unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah dan Kepala Dinas/instansi di lingkungan pemkab setempat juga turut serta belimbur di pendopo bupati.
Sebelum "Belimbur" salah satu prosesi sakral yang menandai penutupan Erau Adat Kutai dan EIFAF tersebut digelar upacara "Ngulur Naga" yakni, beramai-ramai membawa naga dari Museum Mulawarman ke Kutai Lama Kecamatan Anggana.
Naga tersebut dinaikkan di atas kapal yang diikuti oleh sebagian Dewa dan "Belian" (ahli mantera), barisan Pangkon laki dan bini serta petugas pengambil Air Tuli dan pemegang Damar Jujagat.
Keberangkatan naga diiringi tetabuhan gendang serta gong.
Setelah naga tiga kali berputar di Sungai Mahakam di depan Kota Tenggarong, kemudian dibawa menuju ke Kutai Lama yang terlebih dahulu singgah di Samarinda Seberang untuk dilaksanakan prosesi "Naga Bekenyawa" oleh tokoh adat Bugis Samarinda Seberang.
Sementara prosesi "Ngulur Naga" kemudian dilanjutkan dengan prosesi "Beumban" dan "Begorok" yang dilakukan Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura HAM Salehuddin II.
Setelah itu, Sultan turun ke "Rangga Titi untuk memercikkan Air Tuli kepada dirinya dan orang di sekelilingnya yang berarti dimulainya acara belimbur yakni saling menyiramkan air dan acara ini sampai meluas ke seluruh kota yang merupakan adat leluhur. (*)
"Belimbur" Tandai Puncak Erau Adat Kutai
Minggu, 28 Agustus 2016 22:39 WIB
Tidak apa basah-basahan dalam Belimbur karena ini merupakan budaya yang unik dan perlu dilestarikan, namun tidak boleh berlebihan, apa lagi sampai menghilangkan makna belimbur yakni mensucikan diri,"