Jakarta (ANTARA News) - "Yang dulu mendukung Jokowi tidak dengan dasar nilai yang jelas, akan dengan mudah sekarang terbawa arus untuk memaki-maki Jokowi," kata Asep Abro Ruhyat (12/3/2016), aktivis pro demokrasi, tinggal di Berlin, Jerman.
Seperti penyanyi kondang, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengadakan "Tour de Java". Ketika mampir di Jawa Tengah, tepatnya di Pati (16/3/2016), ia melontarkan kritik terhadap politik infrastruktur Jokowi.
Bagi Yudhoyono, pemerintah mestinya tidak menguras anggaran untuk infrastruktur di tengah cuaca ekonomi yang melesu. Meskipun Yudhoyono tidak menjelaskan mazhab pembangunan macam apa yang mau diusulkan, yang barang kali gagal diwujudkan selama 10 tahun beliau menjadi presiden sehingga Jokowi perlu mengimplementasikannya.
Di waktu yang sama dengan tur itu, tiba-tiba Presiden Jokowi berkunjung ke Hambalang, pusat pelatihan olahraga di Bogor, Jawa Barat.
Apa maksud kunjungan Jokowi? Orang-orang Istana menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara kunjungan Jokowi dengan korupsi politik di Hambalang yang melibatkan banyak kader dari partai berkuasa di masa lalu.
Sebagai pernyataan politik, itu benar. Politik tidak pernah vulgar dalam menyatakan pesannya.
Tetapi bagi kita, setidaknya bagi saya, Hambalang lebih dari sekadar nama. Hambalang adalah sebuah warisan cerita. Sebuah cerita tentang rekayasa berjamaah melalui kebijakan legal untuk memperkaya kelompok tertentu.
Bagi para ahli politik, terutama yang mendalami korupsi politik, Hambalang adalah sebuah titik balik yang penting dalam genealogi korupsi. Kalau dulu, korupsi politik dilakukan secara vulgar, sekarang korupsi dilakukan secara halus, samar, dan nyaris tak kelihatan.
Modus operandinya melalui kebijakan legal.Prosedurnya formal dan tidak menyalahi peraturan hukum manapun.
Namun, dalam praktik, kebijakan itu diarahkan untuk memperkaya segelintir orang atau kelompok tertentu. Legalisasi korupsi melalui kebijakan ini adalah pesan yang paling mahal dari kasus Hambalang. Persis karakter korupsi macam inilah yang disebut "era baru korupsi politik" oleh Gail Collins (2013).
Kalau kasus ini bisa dituntaskan, dalam pengertian semua orang yang diuntungkan oleh proyek ini diborgol, terutama mereka yang berada pada pusat kekuasaan, maka kasus Hambalang bisa sangat berguna untuk memahami karakter korupsi politik modern.
Bahwa korupsi ternyata tidak hanya karena haus dan lapar, tetapi juga karena kepatuhan terhadap otoritas.
Eksperimen Milgram (1963) telah membuktikan bahwa rasa takut terhadap otoritas melemahkan subjektivitas individual dalam diri seseorang, sehingga ia melakukan apa yang dikehendaki oleh otoritas.
Meskipun para ahli etika sosial mengkritisi proses penelitian yang dilakukan Milgram karena dianggap melukai subjek penelitian dalam pelaksanaannya, eksperimen Milgram membenarkan karakter hubungan kekuasaan.
Dalam banyak kasus korupsi politik di Indonesia, kepatuhan terhadap perintah partai adalah alasan umum, meskipun selalu ada peluang di mana pelaku bertindak untuk diri dan kelompok lain di luar partai.
Dalam konteks ini, tidak salah kalau kita perlu membaca Nazarudin dalam skema sistem yang lebih luas. Ia adalah pion yang bekerja untuk sebuah subsistem yang samar, yang di dalamnya bos adalah raja yang harus dikenyangkan.
Siapa bos yang dimaksud? Jawaban atas pertanyaan ini bukan poin kita di sini. Hal yang mau dikatakan adalah bahwa korupsi politik tidak pernah berujung pada kepentingan satu orang. Ia adalah kerja sistem.
Dalam kasus Hambalang, Nazarudin, Angelina Sondakh, dan Anas Urbaningrum sudah dirompi kuningkan oleh KPK. Apakah hanya mereka yang diuntungkan? Konon, ada petinggi Partai Demokrat yang juga terlibat dalam kasus itu. Wallaahu alam!
Angelina Sondakh pernah bersaksi di depan pengadilan pada tanggal 6 Januari 2016 dan diberitakan oleh hampir semua media massa, bahwa 20 persen jatah proyek APBN ketika itu dialokasikan untuk kepentingan partai yang bersangkutan. Wallaahu alam!
Kalau Prof William Liddle dari Amerika Serikat pernah bilang, Indonesia bangsa yang gampang lupa, maka boleh saja kita berinterpretasi bahwa kunjungan Jokowi ke Hambalang adalah politik senyap yang menghidupkan ingatan kolektif kita.
Ingatan tentang pentingnya membangun negara dengan jujur, bersih, berani, dan tegas supaya korupsi politik tidak lagi membunuh peradaban dan anak bangsa ini.
Pemimpin yang santun dan populis adalah pemimpin yang sederhana, jujur, bersih, rendah hati, dan selalu berpihak batin dan fisik kepada rakyat. Politik santun tak bermakna apa-apa kalau pemimpinnya selalu ragu, hidup mewah, dan cenderung rakus. Kita beruntung, Jokowi kebalikan dari itu semua!
*) Penulis adalah pengamat politik dan Dewan Pengawas Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. Email: redaksi@bonihargens.com
Hambalang dan Politik Senyap Jokowi
Jumat, 25 Maret 2016 23:29 WIB