Balikpapan (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kelas I SAMS Sepinggan Balikpapan memastikan fenomena Aphelion yang terjadi pada awal Juli 2025 tidak berdampak signifikan terhadap perubahan cuaca maupun suhu di wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan Timur.
“Fenomena ini memang sedang terjadi, namun dampak signifikannya tidak ada karena jarak matahari dan bumi memang sudah sangat jauh,” kata Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Kelas I SAMS Sepinggan Balikpapan, Kukuh Ribudiyanto, di Balikpapan, Senin (7/7).
Ia menjelaskan, Aphelion adalah posisi terjauh Bumi dari Matahari dalam orbit tahunannya, yang lazim terjadi setiap pertengahan tahun, tepatnya sekitar awal hingga pertengahan Juli.
Lanjutnya, meskipun jarak bumi dengan matahari bertambah sekitar 147 juta kilometer menjadi sekitar 152 juta kilometer, perubahan tersebut tidak cukup berpengaruh terhadap suhu secara nyata.
Menurut Kukuh, pengaruh utama cuaca harian justru berasal dari distribusi awan, tekanan udara, dan pola angin regional.
“Perbedaan jarak hingga ratusan kilometer ini tidak memberikan perubahan suhu yang signifikan,” ujarnya.
Kukuh menambahkan, cuaca di Kalimantan Timur dan sebagian besar wilayah Indonesia saat ini lebih dipengaruhi oleh transisi musim dari penghujan ke kemarau.
Masa peralihan tersebut menyebabkan cuaca menjadi tidak menentu, dengan kelembapan tinggi dan hujan lokal yang masih kerap terjadi.
“Kelembapan yang tinggi dan suhu yang berubah-ubah bisa berdampak pada kondisi kesehatan, misalnya batuk, pilek, atau penyakit lain yang berhubungan dengan daya tahan tubuh,” ujarnya.
Ia mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya pada informasi yang menyebut fenomena Aphelion menyebabkan suhu ekstrem atau dikaitkan dengan isu-isu kesehatan seperti gelombang pandemi baru.
“Fenomena Aphelion ini berulang setiap tahun dan bukan sesuatu yang luar biasa,” katanya.
Menurut Kukuh, pola peningkatan penyakit seperti demam berdarah lebih disebabkan oleh faktor kelembapan dan genangan air akibat hujan yang masih terjadi di sejumlah wilayah. Perkembangan nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor penyakit DBD cenderung meningkat pada kondisi seperti ini.
Ia meminta masyarakat tetap menjaga kondisi kesehatan, namun tidak perlu panik berlebihan karena Aphelion bukan faktor utama cuaca dingin atau penyebab penyakit musiman.
“Kalau dibandingkan suhu permukaan, pengaruh Aphelion itu sangat kecil. Suhu di Indonesia lebih dipengaruhi oleh pola angin, awan, dan kelembapan,” tuturnya.
Kukuh meminta masyarakat untuk memantau perkembangan cuaca dari kanal resmi seperti aplikasi Info BMKG atau laman resmi BMKG untuk memperoleh informasi valid dan menghindari hoaks yang kerap beredar di media sosial atau grup percakapan.
“Jangan langsung percaya informasi yang tidak jelas sumbernya, apalagi disertai narasi menyesatkan,” tutupnya.
