Balikpapan (ANTARA) - Pembangunan IKN lebih kurang 800 km di selatan Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, menjadi berkah bagi proyek PLTA Kayan, meskipun ide dan tahapan pembangunannya jauh lebih dahulu.
PLTA Kayan dimasukkan menjadi satu tahapan transisi energi nasional, membuat proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga air itu memiliki kepastian arah dan kemudahan langkah.
“Kelak PLTA Kayan adalah pemasok energi hijau bagi IKN,” kata Direktur Transformasi Hijau Otorita Ibu Kota Negara (OIKN) Nusantara Agus Gunawan.
Besarnya kebutuhan energi hijau di masa datang membuat PLTA Kayan dirancang untuk menjadi bendungan hydropower terbesar di Indonesia. Kapasitas Sungai Kayan dihitung mampu menciptakan listrik 9.000 MW dengan energi dari waduk seluas 190.600 hektare di belakangnya.
Tahapan pembangunannya sudah dimulai sejak 2011 dengan total nilai investasi mencapai 17,8 miliar dolar AS atau setara Rp275,9 triliun. PLTA dengan kapasitas 9.000 megawatt (MW) ini ditargetkan rampung pada 2035.
Pertengahan 2025 ini, pembangunan fisik sudah mencapai 35 persen setelah infrastruktur jalan menuju proyek berhasil dituntaskan.
Selain listrik untuk Kawasan Industri Tanah Kuning, PLTA Kayan direncanakan mulai menyalurkan listrik hijau ke IKN pada tahun 2027. Tahap pertama proyek ini akan menghasilkan 900 MW.
Proyek ini akan berjalan dalam lima tahap, dengan target penyelesaian penuh pada 2035 untuk mencapai kapasitas total 9.000 MW.
Untuk distribusi listrik ke IKN, PLTA Kayan akan menggunakan jaringan transmisi listrik milik PLN, dengan menggunakan teknologi HVDC (high voltage direct current) atau arus tegangan tinggi yang lebih efisien.
Bila semua berjalan sesuai rencana, IKN akan mulai menerima pasokan listrik dari PLTA Kayan dalam dua tahun ke depan terlepas dari target IKN menerima energi dari PLTA dan PLTB di rentang tahun 2030-2040.
Namun sejak dimulai tahapan pembangunannya pada 2010, PLTA Kayan memang menempuh medan berat dengan jalan terseok-seok. Sumitomo, satu investor besar mundur, menghadapi regulasi dan perizinan yang panjang dan banyak, relokasi warga tersendat, dan kritik lingkungan terus bergema.
Beberapa pekan lalu di tahun 2025 ini, Jatam Kaltim dan LBH Samarinda mengingatkan bahwa proyek ini bukan sekadar soal listrik, tetapi juga tentang masyarakat adat yang kehilangan ruang hidup mereka dan ancaman besar bagi keanekaragaman hayati.
Proyek PLTA Kayan memang berdampak pada dua desa utama di hulu Sungai Kayan, yaitu Long Peleban dan Long Lejuh. Keduanya adalah kampung tertua di Bulungan, sudah ada sejak 1901. Keduanya juga akan tenggelam bila nanti bendungan jadi dan reservoir diisi air. Bersama dua desa itu juga akan turut tenggelam desa-desa Muara Pangean, Long Yin, dan Long Lian.
Di Long Peleban ada sekitar 60 kepala keluarga (KK) atau 260 jiwa, di Long Lejuh ada 103 keluarga dengan seluruhnya 415 jiwa.
Ada pun orang Punan yang terdampak adalah kelompok yang hidup di sekitar Sungai Malinau dan Sungai Mentarang. Orang Punan dikenal sebagai suku nomaden atau pengembara yang berpindah-pindah mengikuti sumber daya alam. Mereka mengikuti antara lain musim buah di hutan, atau di mana sedang ada banyak hewan untuk diburu.
Karena itu kalau hutan ditenggelamkan, maka mereka harus dipindahkan. Dan memang, sebagian besar kelompok Punan di Malinau telah direlokasi, tetapi lokasi baru mereka di Seboyo, Malinau, dianggap tidak sesuai dengan budaya dan cara hidup mereka. Mereka kehilangan akses ke sungai sebagai sumber air bersih dan perikanan, serta hutan sebagai tempat berburu.
Relokasi ini juga berdampak pada identitas budaya mereka, karena masyarakat Punan memandang hutan sebagai bagian dari kehidupan spiritual dan sosial mereka.
"Proyek ini menenggelamkan ruang hidup warga Punan," tutur Pengacara Publik LBH Samarinda Irfan Ghazy.
Namun dengan target membuat bendungan yang sanggup menghasilkan listrik 9.000 MW, PT Kayan Hydro Energi mencoba meyakinkan masyarakat dengan cara lain. Perwakilan warga diajak melihat bagaimana bendungan kurang lebih serupa yang akan dibangun di Kayan-Mentarang berguna dan memberi banyak manfaat.
Maka di tahun 2013, Ketua Adat Long Peleban Yohanes (61 tahun ketika itu), berdiri di depan Three Gorges Dam. Di depan bendungan hidroelektrik terbesar di dunia yang membentang di Sungai Yangtze, dekat Yichang, Provinsi Hubei, Cina.
Proyek Bendungan Three Gorges dimulai pada 1994 dan selesai pada 2012 atau dalam 18 tahun. Bendungan dibuat dengan tujuan utama mengendalikan banjir serta menghasilkan listrik dalam jumlah besar.
Bendungan ini memiliki tinggi 181 meter dan panjang 2.335 meter, menciptakan reservoir sepanjang 600 km yang menenggelamkan sebagian wilayah Tiga Ngarai yang terkenal. Dengan 32 turbin utama, kapasitas listriknya mencapai 22.500 MW, menjadikannya pembangkit listrik terbesar berdasarkan kapasitas terpasang.
Daerah sekitar bendungan menjadi maju antara lain karena pariwisata. Tidak hanya ada listrik, tapi juga lengkap dengan infrastruktur lain seperti jalan dan jembatan. Ada fasilitas pendidikan, kesehatan. Lengkap.

Namun selama pembangunannya, proyek juga menuai kontroversi. Lebih dari 1,3 juta orang harus direlokasi dan dampak ekologisnya masih diperdebatkan. Bendungan ini juga berada di wilayah yang rawan gempa dan tanah longsor, sehingga ada kekhawatiran terkait stabilitas jangka panjangnya.
Tapi Yohanes sudah yakin dengan apa yang dilihatnya. Sepulang dari perjalanan itu, Yohanes pun membagikan keyakinannya kepada warganya bahwa proyek bendungan Sungai Kayan adalah jalan untuk kemajuan dan masa depan dan hidup lebih sejahtera.
“Dimulai dengan mendapatkan ganti rugi yang pantas,” ujarnya.
Kenyataan saat ini, Long Peleban adalah desa kecil di tepi Sungai Kayan yang jauh dari kota. Jalan darat menuju ke sana berliku dan susah ditempuh. Listrik warga dapatkan dari genset pribadi dan tenaga surya yang sangat terbatas. Hidup mereka bergantung pada hasil pertanian, perikanan, serta hasil hutan yang kini menghadapi perubahan besar. ***