Samarinda (ANTARA) - Pengamat ekonomi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Purwadi Purwoharsojo menyoroti permasalahan klasik antrean panjang di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina yang seolah tidak pernah terselesaikan di Kalimantan Timur dan menduga adanya indikasi kebocoran dalam sistem distribusi yang belum teridentifikasi.
"Saya perhatikan di pulau padat penduduk di luar sana dengan volume konsumsi BBM yang jauh lebih besar tidak terjadi antrean separah di Kaltim, artinya ada yang tidak beres dengan distribusi di Kaltim," ucapnya saat dihubungi ANTARA di Samarinda, Rabu.
Keresahan masyarakat semakin meningkat, lanjut Purwadi, dengan kekhawatiran terhadap kualitas BBM yang diterima, bahkan sampai muncul fenomena pembelian BBM eceran dalam botol sebagai alternatif.
Ia menilai fenomena ini bisa menjadi indikasi adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem distribusi formal.
Purwadi juga menyoroti praktik pengetapan BBM yang menurutnya ilegal dan seharusnya tidak dilayani oleh SPBU. Ia menduga adanya oknum yang bermain dalam rantai distribusi sehingga praktik pengetapan bisa terus terjadi. Terbukti dengan banyaknya pengecer pada kios-kios pinggir jalan.
Purwadi menekankan pentingnya pengawasan kolaborasi dari hulu hingga hilir dalam memastikan kelayakan distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh PT Pertamina (Persero) di Kalimantan Timur (Kaltim).
"Pengawasan yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak terkait menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan distribusi yang akhir-akhir meresahkan masyarakat atas dugaan pengoplosan," ujarnya.
Purwadi menyoroti kondisi di Kaltim, khususnya Samarinda, di mana Pertamina masih menjadi pemain tunggal dalam penyediaan BBM. Situasi monopoli ini, lanjutnya, berpotensi menimbulkan kerawanan dalam distribusi dan pelayanan kepada konsumen.
"Berbeda dengan di Jawa yang memiliki banyak pilihan penyedia BBM, di Kaltim masyarakat mau tidak mau harus bergantung pada Pertamina," ujarnya.
Menanggapi jika ada investasi perusahaan asing di sektor hilir migas Kaltim, Purwadi menyatakan ketidaksetujuannya. Ia berpandangan bahwa solusi utama bukanlah dengan mendatangkan pesaing, melainkan dengan membenahi kinerja internal Pertamina secara menyeluruh.
"Cara menyelesaikannya adalah dengan membereskan kinerja Pertamina di Kaltim dari hulu sampai hilir," tegasnya lagi.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi Pertamina saat ini, menurut Purwadi, adalah keberanian untuk melakukan digitalisasi dalam seluruh lini bisnisnya. Ia mencontohkan bagaimana digitalisasi dapat mempermudah konsumen dalam mencari informasi ketersediaan dan lokasi SPBU terdekat yang tidak mengalami antrean melalui aplikasi atau integrasi dengan platform digital lainnya.
"Hari ini saja, implementasi barcode pada pembelian BBM subsidi masih sering disalahgunakan. Seharusnya, Pertamina berani melakukan digitalisasi layanan agar lebih transparan dan terlaporkan kepada publik," ungkapnya.
Purwadi juga memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi Kaltim atas keresahan masyarakat terhadap Pertamina. Menurutnya, sebagai pelayan publik, pemerintah seharusnya lebih mengutamakan keluhan masyarakat terkait distribusi BBM. "Harus responsif dong, ayo kita buka apa yang sebenarnya perlu dibenahi dari Pertamina," ujarnya.
"Pengawasannya parah. Lingkaran ini harus disingkap satu per satu," tegasnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Purwadi menyarankan adanya forum terbuka yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari DPRD, akademisi, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), Pertamina, hingga pemerintah daerah.
"Saya siap menguak apa yang harus diperbaiki jika diundang forum seperti itu. Karena saya langsung berhadapan dengan pemangku kepentingannya," katanya.
Purwadi mengingatkan bahwa BBM merupakan kebutuhan publik yang vital, sama halnya dengan air dan listrik. Gangguan dalam ketersediaan dan distribusi BBM dapat berdampak langsung pada perekonomian masyarakat.
"Kendaraan rusak yang akhir-akhir ini dikeluhkan masyarakat karena kualitas BBM yang buruk tentu mengganggu aktivitas ekonomi," jelasnya.
Ia menyayangkan permasalahan distribusi BBM di Kaltim yang seolah menjadi persoalan menahun tanpa ada penyelesaian yang signifikan. "Sudah 10-15 tahun lalu masalah antrean BBM di Kaltim ini ada dan tidak pernah beres," kritiknya.
Selain masalah antrean, Purwadi juga menyoroti pentingnya pembenahan pelayanan di SPBU dan implementasi sistem digitalisasi yang berani. Ia menyarankan agar pemerintah provinsi, melalui gubernur dan wakil gubernur, mengundang seluruh pihak terkait, termasuk perwakilan konsumen dan pengelola bengkel, untuk mencari solusi bersama.
"Kalau memang ada indikasi kerusakan kendaraan akibat kualitas BBM dari SPBU tertentu, bengkel bisa menjadi saksi," ujarnya.
Secara spesifik, Purwadi menilai kinerja Pertamina Kaltim dalam hal pengawasan dan monitoring distribusi BBM masih sangat lemah. Ia mendesak agar audit dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya terhadap SPBU, tetapi juga terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pengangkutan BBM, termasuk para sopir truk tangki.
"Harus diaudit juga sopir-sopir pembawa BBM. Berani tidak Pertamina melakukan digitalisasi hingga ke level itu?" tanyanya.
Ia juga menyarankan agar pengawalan ketat dilakukan sejak awal, dari kilang hingga SPBU, untuk mencegah terjadinya penyimpangan.
