Samarinda (ANTARA) - Persentase transaksi non-tunai menggunakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard/ Kode Respons Cepat Standar Indonesia) di Kabupaten Mahulu mengalami kenaikan tertinggi di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) sepanjang 2024, yakni naik mencapai 589 persen.
Persentase penggunaan QRIS di Mahakam Ulu (Mahulu) memang paling tinggi ketimbang kabupaten dan kota lain di Kaltim, namun secara nominal paling kecil karena jumlah penduduknya memang paling sedikit dengan 39.319 jiwa pada 2024.
"Transaksi dengan QRIS di Mahulu pada 2023 senilai Rp2,51 miliar, naik 589 persen menjadi Rp14,8 miliar pada 2024, menggambarkan penggunaan QRIS di daerah yang berbatasan dengan Malaysia bagian Timur ini mulai masif," ujar Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Kaltim Budi Widihartanto di Samarinda, Ahad.
Secara total, pembayaran dengan sistem non-tunai di Mahulu pada 2024 sebesar 14,9 miliar, terdiri atas penggunaan QRIS senilai Rp14,8 miliar dan dengan uang elektronik (UE) senilai Rp100 juta, sementara transaksi dengan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) sebesar Rp94 miliar atau turun 36 persen ketimbang 2023.
Budi melanjutkan bahwa dari 10 kabupaten/kota di Provinsi Kaltim, wilayah kerja KPw BI Kaltim terdapat tujuh daerah yakni Kota Samarinda, Bontang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Berau, Kutai Barat, da Mahulu.
Sedangkan tiga daerah lainnya yakni Kota Balikpapan, Kabupaten Paser, dan Penajam Paser Utara (PPU) berada pada wilayah kerja KPw BI Balikpapan.
Untuk transaksi non-tunai menggunakan QRIS di wilayah kerja BI Kaltim selain Mahulu pada 2024 adalah di Samarinda naik 326 persen dibanding tahun sebelumnya atau menjadi Rp3,8 triliun, kemudian untuk UE senilai Rp21,2 miliar, dan transaksi dengan APMK senilai Rp3,7 triliun.
Di Kota Bontang penggunaan QRIS naik 256 persen menjadi Rp574 miliar, penggunaan UE Rp3,3 miliar dan dengan APMK senilai Rp584 miliar, di Kabupaten Kutai Kartanegara penggunaan QRIS naik 326 persen menjadi Rp424 miliar, ditambah penggunaan UE Rp6,2 miliar, dan dengan APMK senilai Rp886 miliar.
"Pembayaran dengan QRIS di Kabupaten Berau naik 207 persen menjadi Rp381 miliar, UE Rp2,1 miliar, dan APMK Rp425 miliar, penggunaan QRIS di Kabupaten Kutai Barat naik 301 persen menjadi Rp144 miliar, UE RP1 miliar, APMK Rp217 miliar, dan QRIS di Kutai Timur naik 315 persen menjadi Rp508 miliar, UE Rp2,6 miliar, dengan APMK Rp711 miliar," kata Budi.