Nunukan (ANTARA Kaltim) - Kegigihan masyarakat adat Indonesia memperjuangkan hak-haknya akhirnya membuahkan hasil dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 atas gugatannya terhadap Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Melalui Dewan Aliansi Masyarakat Adat Indonesia (AMAN) Provinsi Kalimantan Timur Wilayah Utara, Marli Kamis, putusan MK tersebut menjadi kemenangan seluruh masyarakat adat di Indonesia dan hak-haknya terhadap hutan sudah semakin jelas sebagaimana pengejewantahan pasal 33 UUD 1945.
Seperti yang diutarakan pada pasal 3 UU Kehutanan itu yang berbunyi "Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan".
AMAN yang dibentuk oleh seluruh masyarakat di Indonesia telah melakukan perjuangan panjang mengajukan gugatan terhadap beberapa pasal dalam UU Kehutanan yang dinilai bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 dan pasal 3 UU Kehutanan berdasarkan hasil keputusan pengurus tanggal 19 Maret 2012.
Gugatan yang diterima Kepaniteraan MK 26 Maret 2012 sesuai akta penerimaan berkas permohonan nomor 100/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam buku register perkara 2 April dengan nomor 35/PUU-X/2012 yang diajukan oleh Ir Abdon Nababan, Sekjen AMAN, H Burtamir dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar, Riau dan Moch Akri alias H Okri dari Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak, Banten.
Sesuai permohonan gugatan tersebut menilai selama 10 tahun berlakunya UU Kehutanan telah dijadikan oleh negara untuk mengambil
alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya dijadikan sebagai hutan negara yang oleh negara diberikan kepada pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi, kata Marli Kamis.
Pada saat pembacaan putusan oleh hakim konstitusi pada 16 Mei 2013, seluruh masyarakat adat di Indonesia bersorak sorai menyambut kemenangan itu. Sebab, mereka sangat gembira setelah puluhan tahun tersingkir dari warisan nenek moyangnya yang banyak dikelola pemodal tersebut.
Kemenangan itu, kata Marli Kamis yang juga anggota DPRD Nunukan Kalimantan Utara, menjadi acuan bagi seluruh masyarakat hukum adat di Indonesia untuk mendapatkan kembali hak-haknya terhaap hutan adat sebagaimana penilaian hakim konstitusi bahwa selama ini eksploitasi hutan adat tidak memperhatikan kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut.
Akibatnya, seringkali terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat terkait pengelolaan hutan adat mereka sehingga tidak sedikit melakukan penentangan terhadap UU Kehutanan yang dianggapnya tidak memihak kepada masyarakat hukum adat.
Aksi penolakan selain dilakukan melalui demonstrasi dan laporan kepada Komnas HAM bahkan ke aparat penegak hukum lainnya, tetapi Marli Kamis memandangnya selalu menemui jalan buntu bahkan masyarakat adat yang menjadi korban atas sejumlah kekerasan yang dilakukan oknum aparat terhadap mereka.
Sebagaimana rencana strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014 menunjukkan data bahwa pada 2003 dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8 juta jiwa tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta jiwa yang tergolong miskin ditambah data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2007 masih terdapat 5,5 juta jiwa yang masih miskin disekitar kawasan hutan.
Atas pertimbangan inilah, MK memandang perlunya merevisi sejumlah pasal-pasal dalam UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dengan menggunakan kewenangannya sesuai pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD.
Masih berdasarkan pasal ini juga, MK juga berkewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan perselisihan hasil pemilu.
Marli Kamis yang berasal dari masyarakat hukum adat Suku Dayak Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan ini mengatakan obyek pengajuan gugatan AMAN adalh pasal 1 ayat (6), pasal 4 ayat (3), pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Selanjutnya pada pasal 67 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Menurut dia, MK memandang pasal-pasal yang digugat oleh AMAN selaku pemohon memang terbukti telah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menerima permohonan itu. Seperti pada pasal 1 ayat (6) UU Kehutanan yang menggunakan kata "negara" diubah bunyinya menjadi "hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat".
Pada pasal 4 ayat (3) sebelumnya berbunyi "sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional" diubah bunyinya menjadi "penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat".
Pasal 5 ayat (1) dalam UU Kehutanan juga bertentangan UUD 1945 secara bersyarat conditionally unconstitutional yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai bahwa "Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara, hutan hak dan hutan adat.
Kemudian pasal 5 ayat (3) diubah bunyinya menjadi "Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) begitu juga pasal 5 ayat (4) dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Bunyi pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan tersebut juga mengalami perubahan menjadi "Masyarakat hukum adat berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat bersangkutan, melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Atas putusan ini, hakim konstitusi MK sesuai pasal 67 ayat (3) menyatakan ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah dan didaerah dengan peraturan daerah (perda).
"Jadi nantinya melalui putusan MK ini, semua masyarakat adat di daerah masing-masing meminta kepada pemerintah daerah untuk membuatkan perdanya," ujar Marli Kamis.
Untuk Kabupaten Nunukan sendiri yang memiliki empat komunitas hukum adat yang diakui yaitu Dayak Lundayeh, Dayak Agabag, Tidung dan Kenyah yang masing-masing memiliki kawasan tersendiri berdasarkan peta wilayah. Oleh karena itu, sebut Marli Kamis perlunya diperkuat dengan perda agar kawasan wilayah tidak tumpah tindih.
Namun dia mengaku belum ada rencana dalam waktu dekat ini meminta pemerintah daerah untuk menyusun rancangan perdanya karena mesti memperhatikan momen yang tepat setelah ada koordinasi dengan keempat komunitas di atas.
Hanya saja, ada juga yang menengarai kemenangan masyarakat hukum adat melalui putusan MK akan berdampak pada sejumlah perusahaan modal asing maupun dalam negeri di Kabupaten Nunukan yang selama ini dinilai telah banyak mengeksploitasi sejumlah kawasan hukum adat. (*)
Buah Perjuangan Masyarakat Adat Indonesia
Jumat, 24 Mei 2013 19:42 WIB