Samarinda (ANTARA News Kaltim) - Komisi I DPRD Kaltim menemukan fakta bahwa wilayah sengketa antara 25 anggota kelompok tani dengan PT MSJ Kutai Kartanegara merupakan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) sesuai dengan SK Kemenhut Nomor 79 tahun 2001.
"Kami masih akan menggelar rapat internal, guna menyiapkan kesimpulan akhir yang nantinya hasilnya diserahkan kepada pimpinan Dewan untuk kemudian mengeluarkan surat rekomendasi kepada pihak-pihak terkait termasuk Gubernur Kaltim," kata Ketua Komisi I Sudarno di Samarinda, Senin.
Meskipun demikian, Sudarno mengatakan Komisi I tetap meminta PT MSJ memberikan bayaran dengan sebutan apapun, baik tali asih atau ganti rugi tanam tumbuh kepada 25 anggota kelompok tani yang tergabung dalam dua kelompok tani, yakni Kelompok Tani 24 dan Kelompok Tani Maruktupu.
Berbagai informasi, data dan dokumentasi menunjukkan bahwa lahan yang disengketakan tersebut masuk KBK dan siapa pun yang mau menggunakan lahan tersebut, ujarnya, haruslah mendapat izin dari Kementerian Kehutanan atas dasar rekomendasi Gubernur Kaltim.
Menurut data Dinas Kehutanan Kaltim, kata Sudarno, PT MSJ telah mengantongi izin pinjam pakai sejak 23 Juni 2009, sedangkan ditetapkannya KBK sejak sebelas tahun lalu atau tepatnya 2009.
"Kalau KBK ditetapkan pada 2001 dan 2009 PT MSJ mendapatkan izin pinjam pakai dan 2008 resmi terbentuknya kelompok tani yang berjumlah 25 anggota itu, maka jelas tidak ada multi tafsir hukum sebab memang secara sah legal formal perusahaan lah yang berhak karena telah mengantongi izin dari Kemenhut," katanya.
Akan tetapi, lanjut dia, persoalan tidak selesai sampai di situ, karena bagaimanapun keringat dan jerih payah masyarakat yang melakukan kegiatan pertanian dan perkebunan harus mendapatkan ganti yang sepadan itu intinya.
"Jadi bagaimana masalah selesai dan tidak ada pihak yang dirugikan," tegas Sudarno.
Untuk itu, pihak Komisi I DPRD Kaltim akan mengumpulkan berbagai data dan informasi terkait kelompok tani mana yang sah sehingga berhak nantinya mendapatkan tali asih atau ganti rugi tanam tumbuh dari PT MSJ. Hal itu dimaksudkan guna menghindari ada klaim dari kelompok tani lain atas lahan tersebut.
Koordinator Kelompok Tani 24, Sulaiman Hatase menjelaskan petani secara individual melakukan kegiatan cocok tanam sejak 1989 namun baru membentuk wadah secara sah dalam bentuk kelompok tani di 2008, dan itu artinya petani telah ada jauh sebelum ditetapkannya kawasan itu sebagai KBK.
Ia mengatakan, alasan yang mendasar hingga petani terus meningkatkan dan bersepakat membentuk kelompok tani di 2008 karena tidak pernah ada sosialisasi kepada para petani terkait ditetapkannya kawasan itu sebagai KBK.
Bahkan, katanya, lurah dan camat setempat pun yang melegalkan kelompok tani karena tidak mengetahui penetapan KBK.
"Setelah tanam tumbuh, artinya tidak lama para petai melakukan panen malah tiba-tiba datang pihak mengatakan ini masuk KBK dan dilarang melakukan kegiatan terlebih pihak perusahaan langsung meratakan kebun menjadi tanah lapang. Ini kerugian besar dan petani merasa didzalimi," kata Sulaiman.
Ditambahkannya, izin pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan kepada PT MSJ itu seluas 3.737 ha, sedangkan jumlah total yang telah digarap oleh perusahaan tersebut hingga saat ini telah lebih dari 20.000 ha, ini merupakan fakta kongkrit di lapangan yang siap dipertanggungjawabkan.
Dishut Kaltim diwakili Farida Yuni mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui apakah memang pernah dilakukan sosialisasi terhadap ditetapkannya kawasan yang menjadi sengketa itu menjadi KBK kepada masyarakat di sekitar atau tidak.
Sebab, katanya, selama ini mekanismenya pemerintah pusat melalui Kementerian terkait mengundang instansi provinsi hingga kabupaten/kota seluruhnya untuk diberikan penjelasan dan informasi terkait daerah yang telah ditetapkan apakah KBK, hutan lindung, taman nasional dan sejenisnya. (Humas DPRD Kaltim)
Komisi I: Lahan Sengketa Masuk Kawasan Budidaya Kehutanan
Senin, 7 Mei 2012 21:19 WIB