Puncak, Bogor (ANTARA) - Anggota Komisi VIII DPR Hidayat Nur Wahid mengusulkan, pemerintah agar melakukan terobosan untuk memangkas lamanya daftar tunggu calon jamaah haji Indonesia.
“Saya meminta Kementerian Agama memiliki keseriusan membuat terobosan dan inovasi mengurangi masa tunggu calon jamaah haji yang mencapai puluhan tahun," ujar anggota Fraksi PKS itu dalam Rapat Konsinyering Komisi VIII DPR terkait evaluasi pelaksanaan ibadah haji di Villa DPR, Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin.
Hidayat menjelaskan, payung hukum mengenai penentuan kuota jamaah haji tiap negara adalah Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam (KTT OKI) tahun 1987, di mana ditentukan kuota jamaah haji adalah menggunakan rasio 1/1000.
Menurut dia, pada tahun 2013 hingga tahun 2016, Pemerintah Arab Saudi mengurangi kuota jamaah haji sebesar 20 persen, terkait dengan proyek renovasi Masjidil Haram, atau sejumlah 42.000 per tahun, bagi calon jamaah haji Indonesia.
Namun, kata dia, kuota yang hilang selama proses renovasi tersebut belum dikembalikan. Padahal pembangunan dan perluasan kawasan thawaf sudah selesai.
Oleh karena itu, menurut Hidayat, penting bagi Pemerintah Indonesia untuk menagih janji pengembalian kuota yang dipangkas tersebut.
Dengan semakin meningkatnya penduduk Indonesia, peraturan rasio 1/1000 yang ditetapkan sejak 1987, menurut dia, sudah tidak relevan. Meningkatnya permintaan haji dalam kondisi kuota haji yang tidak berubah menyebabkan waktu tunggu calon jamaah haji semakin panjang.
Dia menyebutkan, di Sulawesi Selatan masa tunggu haji sudah mencapai 40 tahun, di Sumatera sekitar 25 tahun, di DKI Jakarta 20 tahun. Untuk itu, Hidayat menawarkan beberapa solusi.
“Agar Pemerintah Indonesia mengusulkan kembali kepada OKI untuk membahas ulang mengenai pembagian kuota, sebab payung hukumnya ada di sana. Jika payung hukumnya bisa kita ubah, maka ini akan membawa manfaat yang besar bagi calon jamaah haji kita," ujar Hidayat.
Ada tiga opsi yang diusulkan oleh Hidayat. Opsi pertama adalah usul untuk meningkatkan rasio jamaah haji terhadap jumlah penduduk, misalkan dari 1/1000 menjadi 1/500.
Jika itu tidak memungkinkan, maka opsi yang kedua adalah membuat kesepakatan di OKI agar Indonesia bisa mengambil kuota dari negara-negara yang kuota hajinya tidak terpakai. Contoh beberapa negara yang kuota hajinya tidak terpakai adalah negara-negara Timur Tengah karena berlangsungnya perang dan negara Filipina di ASEAN.
Jika kedua opsi tidak memungkinkan, maka opsi terakhir adalah Pemerintah Indonesia harus membangun komunikasi dan bekerja sama dengan negara-negara ASEAN untuk menjalin kesepakatan agar kuota yang tidak dipakai oleh suatu negara bisa digunakan oleh jamaah haji Indonesia.
Jika kesepakatan di tingkat regional tidak bisa dibangun, maka setidaknya Pemerintah Indonesia membangun kesepakatan bilateral dengan negara-negara yang selalu kelebihan kuota.
“Sudah seharusnya Pemerintah Indonesia memaksimalkan potensinya untuk melakukan negosiasi tersebut. Dibutuhkan keseriusan Pemerintah untuk memperjuangkan hal ini dalam rangka memperpendek masa tunggu calon jamaah haji Indonesia," tuturnya.
Hidayat mengatakan seringkali penambahan kuota dibenturkan dengan sarana prasarana di Mina. Pihak Arab Saudi sudah terlihat adanya upaya untuk menghadirkan solusi masalah di Mina dengan membuat gedung-gudang bertingkat di sekitar lokasi pelemparan jumrah (yang juga sudah dibangun bertingkat).
Pihak Arab Saudi, menurut Hidayat, juga sudah mewacanakan untuk membangun kemah bertingkat untuk mabit di Mina.
Usulan-usulan Hidayat terkait dengan solusi untuk memangkas daftar tunggu calon jemaah haji via OKI, disambut baik oleh pihak Kemenag, yang menyatakan akan segera mengkomunikasikan masalah ini ke pihak OKI dan Arab Saudi.
Usulan-usulan Hidayat tersebut juga menjadi keputusan yang disepakati dalam rapat kerja antara Kemenag, Kemenkes, dan Kemenhub bersama Komisi VIII DPR.
Komisi VIII DPR mengadakan rapat konsinyering dengan mitra dalam rangka melakukan evaluasi pelaksanaan haji 1440H/2019M pada Senin, (25/11). Beberapa topik yang dibahas adalah laporan dan evaluasi pelaksanaan haji, keuangan, laporan kesehatan, dan laporan transportasi untuk pelaksanaan haji.