Mahulu, (Antaranews Kaltim) - Pemerintah Kampung Matalibaq di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), Provinsi Kalimantan Timur, akan mendatangi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Tenggarong, Kutai Kartanegara, guna menanyakan hari lahir kampungnya.
“Selama ini kami hanya tahu bahwa Kampung Matalibaq berdiri tahun 1919, tapi kami tidak tahu persis tanggal berapa dan bulan apa, makanya kami perlu menelusuri sejarahnya,” ujar Kepala Kampung Matalibaq, Huvang Paran di Mahulu, Rabu.
Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi tempat awal napak tilas karena sebelumnya wilayah di Mahulu merupakan bagian dari Kerajaan Kutai sebelum adanya pemerintahan yang ditandai berdirinya Kabupaten Kutai, mekar menjadi Kabupaten Kutai Barat, dan mekar lagi menjadi Kabupaten Mahulu.
Huvang Paran menceritakan, awalnya Matalibaq bernama Datah Itung. Perubahan nama kampung terjadi di zaman Kewedanaan Long Iram yang mengubah nama Datah Itung menjadi Matalibaq.
Konon, Matalibaq berasal dari kata datah liba yang berarti dataran rendah. Kampung Matalibaq berdiri sejak 1919. Sistem kerajaan kecil di kampung ini berakhir pada 1972, yakni di masa Raja (Hipui) Lawing.
“Hilangnya pemerintahan sistem Hipui terjadi tahun 1972, sejak munculnya pemerintahan kecil yang dipimpin Kepala Kampung dan Kepala Adat. Dulu kami masih menganut sistem raja, namun kemudian menjadi kepala kampung yang berlaku sampai sekarang,” tutur Paran.
Saat ini Kampung Matalibaq merupakan salah satu kampung di Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahulu, yang berpenduduk 765 jiwa dan 205 kepala keluarga berdasarkan data Oktober 2018.
Secara geografis, kampung ini terletak di pinggir Sungai Pari dan anak Sungai Mahakam. Mayoritas masyarakatnya beretnis Dayak Bahau.
Secara historis, Kampung Matalibaq berasal dari kata Teli dan Livah. Teli artinya air pancuran yang mengalir terus menerus, sedangkan Livah artinya air berkat
atau air dalam bambu yang digunakan menugal padi dan menghalau hama padi, atau air yang digunakan untuk membuang segala malapetaka.
“Ini berarti Telivaq mengandung arti “air sumber kehidupan”. Tapi kami belum tahu persis bagaimana asal muasalnya sampai disebut Matalibaq sampai sekarang. Nama ini juga salah hal yang akan kami telusuri,” ujaranya.
Dia juga menceritakan mitos masyarakat Telivaq, yakni tentang penciptaan. Menurut cerita leluhur, terdapat Buring Hiring Tamai Tingai Hida Husun Tana. Sosok ini diyakni sebagai penguasa alam atas yang sekaligus penguasa bawah tanah.
Buring Hiring mempunyai empat pembantu, yakni Tamai Juk, Tamai Dang, Tamai Bul, dan Tamai Uvai. Keempat sosok ini dipercaya mempunyai peranan penting dalam segala proses penciptaan alam semesta.
