Balikpapan (Antaranews Kaltim) - Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan perlu kajian ilmiah untuk menunjukkan pencemaran di perairan Manggar-Balikpapan karena aktivitas bongkar muat batu bara di perairan sekitar 8 mil dari pantai Kota Minyak ini.
"Karena secara fisik kita ketahui bahwa batu bara itu batuan yang tidak terurai fisiknya oleh air," kata Ketua APBI Eko Prayitno, di Balikpapan, Selasa.
Prayitno menambahkan, sistem bongkar muat pun berisiko kecil batu bara terjatuh dan berceceran di laut. Bila sampai ada batu bara yang terbuang akan sangat merugikan pemiliknya.
"Karena itu sangat dijaga jangan sampai ada yang terbuang saat bongkar muat," ujarnya lagi.
Prayitno juga menjelaskan, aktivitas bongkar muat batu bara di perairan itu karena pembeli datang dengan kapal-kapal kargo ukuran besar, dengan daya tampung antara 60.000 metrik ton hingga 100.000 metrik ton. Bongkar muat di laut lebih efektif dan efisien.
Sebelumnya, Sabtu (9/6) lalu, tidak kurang 200 nelayan dari Manggar, Balikpapan Timur dengan 80 lebih perahu yang mereka biasa pakai untuk menangkap ikan, mendatangi kapal pengolah batu bara di perairan lepas pantai Manggar.
Kapal itu menjadi titik bongkar muat batu bara, dari ponton diambil dengan crane lalu dimasukkan ke kapal pengolah. Dari kapal pengolah batu bara diisikan ke palka kapal kargo curah dengan menggunakan conveyor belt atau ban berjalan.
Nelayan minta aktivitas bongkar muat batu bara di laut itu dihentikan karena berdampak buruk kepada mereka. Secara nyata, banyak batu bara yang jatuh tercecer ke laut menggantikan ikan dan udang masuk ke dalam jala tangkap nelayan.
Dengan menggunakan alat tangkap dogol atau jaring dasar, nelayan biasa mendapatkan udang dan ikan-ikan dasar laut.
"Tapi sekarang kita dapatnya batu bara," kata Sakkirang (50), koordinator aksi nelayan itu.
Menurutnya, malah tidak jarang batu bara juga merusak jaring nelayan. Batu bara itu ada yang disimpan nelayan dan dibawa pulang serta dikumpulkan di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Manggar, ada juga yang dibuang kembali ke laut.
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur Pradarma Rupang menegaskan bahwa batu bara yang jatuh ke laut itu sudah merupakan pencemaran, sesuai definisi pencemaran dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut.
Dalam PP tersebut, definisi pencemaran laut adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia. Masuk zat, energi, atau makhluk hidup ini mengakibatkan kualitas lingkungan laut itu turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan atau fungsinya.
"Karena itu sudah termasuk dalam kategori pencemaran laut yang harus ditindak secara hukum oleh petugas yang berwenang," ujar Rupang.
Ia menambahkan, UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur tindakan hukum bagi para pencemar tersebut. (*)