Ujoh Bilang (Antaranews Kaltim) - Pakar Kepribadian yang juga Direktur Universitas 17 Agustus (Untag) 1945 Samarinda Nora Suzuki Mokodompit PhD mengajak para Kartini di Kabupaten Mahakam Ulu menjaga kepribadian dan kecantikan luar dan dalam, terutama kecantikan hati.
"Banyak perempuan cantik tapi tidak dihargai oleh orang lain, kenapa? karena mereka tidak menjaga kecantikan yang ada di dalam hati, padahal kecantikan dari dalam merupakan hal yang paling utama," ujar Nora Suzuki Mokodompit saat menjadi pembicara pada seminar pengembangan kepribadian yang diselenggarakan Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kabupaten Mahakam Ulu di Balai Adat Ujoh Bilang, Selasa.
Ia menuturkan bahwa kecantikan dari dalam merupakan cermin sekaligus aura kepribadian positif, sehingga dari pribadi yang ramah dan selalu baik kepada orang lain merupakan modal utama bagi setiap Kartini masa kini untuk menjadi daya tarik bagi siapa saja yang diajaknya bergaul.
Seperti pepatah siapa yang menanam, ia yang menuai. Pepatah ini menggambarkan bahwa kepribadian dan sikap apapun yang keluar dari pribadi seseorang, maka perbuatan itu akan kembali lagi ke diri sendiri.
Artinya, lanjut jebolan Oregon State University, Corvallis, OR-USA (Master in Internasional Bussiness Administration) 1987 ini, jika seseorang berkepribadian buruk, maka keburukan itu sendiri akan menimpanya.
Sebaliknya, jika ada perempuan yang selalu berbuat baik, ramah, dan selalu tersenyum kepada siapa saja yang diajaknya berbicara, maka akan banyak orang yang suka sehingga kebaikan ini akan berpihak kepadanya.
"Untuk itu, mari bersama jaga kepribadian agar tetap anggun dan cantik. Kalau lagi kumpul bersama ibu-ibu, jangan suka membicarakan keburukan orang lain, karena kabar buruk itu suatu saat akan disampaikan kepada orang yang kita jelekkan, sehingga hal ini akan memicu suasana tidak harmonis," ujar Nora yang pernah tinggal dan bersekolah di Jepang selama 16 tahun ini.
Dalam kesempatan itu, ia juga mengajarkan cara tersenyum yang dipaksakan tapi tidak kelihatan terpaksa, sehingga orang yang diajaknya tersenyum pun tidak melihat bahwa ada keterpaksaan dalam senyum tersebut. (*)