Ditemui di Samarinda, Selasa, Yaya mengemukakan bahwa habibat binatang dilindungi tersebut banyak tersebar di Bentang Alam Kutai, yang berada di beberapa kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kutai Barat dengan areal seluas tiga juta hektare.
Meski masih berjumlah ribuan, menurut Yaya, populasi orangutan tersebut telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Hal tersebut dibuktikan dengan semakin sempitnya ruang untuk habitat orangutan di Kaltim, karena banyak tergeser untuk wilayah perkebunan dan pertambangan
"Logikanya habitatnya terus berkurang, otomatis pakan berkurang. Sementara, yang diperlukan orangutan itu pakan," kata Yaya di sela kegiatan Penyusunan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Regional Kaltim.
Indikator berkurangnya pakan, kata Yaya, terlihat dari sebaran orangutan yang kerap ditemui di konsesi perkebunan sawit, pertambangan, hutan tanaman industri, kebun masyarakat, hingga perkampungan.
"Sebaran orangutan identik dengan ketersediaan pakan," kata Yaya.
Hal ini ditunjukkan dengan indikator struktur populasi yang tak lagi seimbang. Dari beberapa orangutan yang diselamatkan, ditangkap dan laporan lembaga lain yang diterima Yaya, sekitar 60 persen di antaranya merupakan pejantan dewasa.
"Ini bahaya, karena betina dan anak sedikit. Indikator Struktur populasi yang rusak, ini jalan terdekat menuju kepunahan orangutan di beberapa tempat," tegasnya.
Pada kesempatan sama, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim Sunandar mengatakan, hanya ada satu lokasi yang dinyatakan layak sebagai tempat relokasi orangutan, yakni di area PT Rehabilitasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) yang memiliki lahan seluas 86.000 hektare.
"Harusnya sudah tidak ada lagi orangutan di kandang. Faktanya, kita kesulitan lokasi pelepasliaran orangutan. Tempat lain memang ada, tapi yang sudah dikaji pemerintah itu baru PT RHOI," kata Sunandar.
Kendala lain yang membuat orangutan tak dilepasliarkan kembali ke alam yakni penyakit dan kemampuan individu orangutan di alam liar.
"Yang sakit ini harus disembuhkan dulu. Sementara, kebanyakan orangutan yang sakit susah disembuhkan. Ada satu individu yang berhasil sembuh. Tapi, kebanyakan susah sembuh kalau sudah terjangkit hepatitis, TBC," tambahnya.
Orangutan yang telanjur lama tidak hidup di habitat aslinya, juga dinilai kehilangan kemampuan adaptasi, sehingga harus dilatih dulu agar kembali liar.
Menurut Sunandar, harus ada terobosan baru, agar semua orangutan bisa dilepasliarkan. Pernah, lanjut Sunandar, muncul wacana orangutan yang sakit akan direlokasi di satu pulau tertentu. (*)