Samarinda (ANTARA Kaltim) - Gerakan Rakyat Menggugat atau Geram Samarinda, Kalimantan Timur, meminta pemerintah mencabut PP Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, karena dinilai menyengsarakan buruh.
"Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 ini menjadikan upah buruh di Indonesia jauh dari kata layak, sehingga kondisi buruh kita makin memprihatinkan," ujar Angga Kusuma, mewakili puluhan mahasiswa, buruh, dan petani yang tergabung dalam Geram saat aksi memperingati Hari Buruh di Jl M Yamin, depan pintu gerbang Unmul Samarinda, Senin.
Selain menuntut pencabutan PP Pengupahan, Geram juga minta pemerintah menghapus sistem tenaga kerja kontrak dan outsourching, karena sistem ini dinilai sebagai akal-akalan perusahaan untuk mengebiri hak-hak buruh.
Mereka juga minta segera diwujudkan pola enam jam kerja per hari bagi buruh, karena penerapan jam kerja tersebut telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan UU tersebut, jam kerja adalah waktu untuk melakukan pekerjaan yang dapat dilaksanakan siang atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam UU ini khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85.
Pasal 77 ayat 1 mewajibkan setiap pengusaha melaksanakan ketentuan jam kerja yang telah diatur dalam dua sistem, yakni tujuh jam kerja dalam sehari atau 40 jam kerja dalam seminggu untuk enam hari kerja, atau delapan jam kerja sehari atau 40 jam kerja dalam seminggu untuk lima hari kerja.
Sementara Tina, koordinator lapangan dalam aksi ini melanjutkan, seluruh buruh juga harus mendapatkan haknya, yakni kebebasan berserikat, kebebasan berekspresi, dan menyatakan pendapat di muka umum.
Ia juga minta pemerintah melalui pihak terkait menindak tegas perusahaan yang tidak membayar upah dan tunjangan yang menjadi hak para pekerja.
"Berikan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja bagi buruh, apalagi hal ini sudah diatur dalam Undan-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. UU ini jelas mengatur setiap pekerja wajib didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan maupun Kesehatan," kata Tina.
Ia juga menyerukan perusahaan harus memberikan cuti hamil minimal 12 bulan dan cuti menstruasi tanpa syarat dengan tetap diupah, kemudian menghapus hukum diskriminatif terhadap kaum perempuan, mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU Perlindungan Buruh Migran Indonesia, serta RUU Pekerja Rumah Tangga.
"Kami juga minta peningkatan subsidi bagi kebutuhan pokok rakyat, hentikan liberalisasi pendidikan dan wujudkan pendidikan gratis, demokratis, ilmiah, profesional dan bervisi kerakyatan secara merata. Hentikan eksploitasi alam, perlindungan lingkungan dan energi terbarukan, serta bangun solidaritas internasional kelas pekerja," ujar Tina. (*)