Ambon (ANTARA News) - Kemeriahan rangkaian Peringatan Hari Pers Nasional
(HPN) makin terasa di Kota Ambon, Maluku, menjelang puncak acara pada 9
Februari 2017 yang dijadwalkan dihadiri oleh Presiden Joko Widodo
(Jokowi).
Selain beragam baliho, poster, spanduk, dan umbul-umbul tentang HPN
yang terpasang di seluruh penjuru tempat di Provinsi Maluku umumnya dan
Kota Ambon pada khususnya.
Alat peraga kampanye dari pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali
Kota Ambon bahkan kalah banyak dengan beragam atribut HPN.
Bahkan tak sedikit momentum HPN dimanfaatkan oleh pasangan calon
kepala daerah yang akan berlaga pada pilkada serentak pada 15 Februari
2017 untuk memasang baliho memberi ucapan selamat HPN, tetapi tak lupa
memasang foto-foto mereka dalam ukuran jumbo, lebih besar dari ucapan
selamatnya.
Masyarakat pun antusias menyaksikan beragam rangkaian acara
menyambut HPN seperti bakti sosial, gerak jalan santai, pameran HPN dan
Maluku Expo, serta hiburan musik dan tari.
Dari kemeriahan itu, menyembul pertanyaan besar soal refleksi HPN
pada era pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
saat ini.
Sejak memimpin Republik ini, Jokowi batal menghadiri peringatan HPN
pada 9 Februari 2015 di Batam, Kepulan Riau (Kepri), karena sedang
melakukan lawatan ke luar negeri, sehingga saat itu kehadirannya
diwakili oleh Wapres Jusuf Kalla.
Presiden Jokowi yang juga mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI
Jakarta ini, pertama kali hadir dalam puncak acara HPN di Lombok, NTB,
pada 9 Februari 2016.
Ketika itu, Kepala Negara menyampaikan pesan mendalam kepada pers
nasional. Presiden membacakan beragam judul berita pesimistis seperti
berita bahwa Indonesia diprediksi akan hancur, semua pesimis target
pertumbuhan ekonomi tercapai, pemerintah gagal, atau aksi teror takkan
abis, sampai kiamat pun.
Presiden juga menunjukkan contoh judul-judul berita seperti kabut
asap tak teratasi, Riau terancam merdeka, rupiah akan tembus 15.000
(nilai tukar rupiah atas dolar AS), Jokowi-JK akan ambruk akan ambyar.
"Kalau judul-judul seperti ini diteruskan dalam era kompetisi
seperti ini yang muncul pesimisme. Yang muncul adalah sebuah etos kerja
yang tidak terbangun dengan baik. Yang muncul adalah hal-hal� yang tidak
produktif. Bukan produktivitas. Padahal itu adalah hanya sebuah
asumsi," kata Kepala Negara, mengingatkan.
Bila pers menggambarkan kepada publik soal pesimisme maka rakyat
akan sangat terpengaruhi karena moral, pembentuk karakter, pembentuk
mentalitas, pembentuk moralitas, itu ada di media, ada di pers.
Presiden menyentil berbagai program televisi yang mengejar "rating"
atau peringkat acara yang menjadi ukuran apakah digemari penonton atau
tidak.
Padahal Presiden, misalnya, menginginkan setiap jam ada lagu
kebangsaan, lagu-lagu nasional, secara bergantian sehingga anak-anak
dari Sabang sampai Merauke akan hafal lagu-lagu tersebut.
Sejak Kepala Negara menyampaikan hal itu memang tampak sedikit
perubahan di sejumlah stasiun televisi yang mulai menayangkan lagu-lagu
nasional dan lagu kebangsaan Indonesia Raya, walaupun masih dalam durasi
waktu yang amat sedikit, tidak sebanding dengan lagu mars partai
tertentu yang hampir setiap saat ditayangkan di seluruh jaringan media
televisi tertentu.
"Hoax"
Setahun berlalu dan Presiden Jokowi dijadwalkan bakal hadir untuk
kedua kalinya pada puncak HPN di Ambon, Maluku, pada 9 Februari 2017.
Secara umum, konten media sudah banyak menyampaikan berbagai
kemajuan dan optimisme dari berbagai perkembangan, meskipun tantangan
yang dihadapi juga tidak sedikit.
Salah satu tantangan itu adalah maraknya berita-berita bohong alias
"hoax" yang tersaji dalam berbagai media sosial yang tak jarang
menjebak pers untuk turut juga memberitakan.
Presiden setelah mengikuti kejuaraan panahan di Bogor, Jabar, pada
22 Januari lalu telah menanggapi soal berbagai keluhan, termasuk dari
mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal berita "hoax" itu.
Jokowi menyampaikan bahwa merebaknya berita "hoax" merupakan ekses
keterbukaan informasi yang menimpa banyak negara, tak hanya di
Indonesia. Kuncinya hanya dengan menghadapinya, tidak perlu dengan
banyak keluhan.
Tantangan lain adalah persoalan toleransi atas keberagaman bangsa
ini. Berbagai perbedaan yang ada jangan sampai memecah belah kekuatan
antarsesama warga bangsa.
Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" mesti benar-benar tertanam sebagai jati diri rakyat Indonesia.
Seluruh insan pers bisa ikut menggerakkan, membangun optimisme
publik, membangun etos kerja masyarakat, serta membangun produktivitas
masyarakat.
Pers sebagai kekuatan keempat dari pilar demokrasi, setelah
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, sudah semestinya memelopori
berbagai kemajuan perkembangan masyarakat, sesuai dengan peran, fungsi,
dan tanggung jawabnya, meskipun sebagai institusi industri tetap perlu
mengejar bisnis dan keuntungan.
Refleksi peran pers sebagai wadah perjuangan bangsa merebut
kemerdekan dan mewujudkan cita-cita bangsa berdaulat pada masa lalu
tetap relevan sampai kapan pun, apalagi di tengah kompetisi global saat
ini. (*)
Refleksi Hari Pers Nasional Era Jokowi
Kamis, 9 Februari 2017 10:15 WIB