Balikpapan (ANTARA News-Kaltim) - Embargo impor produk-produk sawit
Indonesia ke beberapa negara Eropa dengan alasan banyak perusahaan
merusak lingkungan adalah bentuk provokasi, yakni kekhawatiran Indonesia
maju dengan menggunakan produk sendiri.
"Dalih bahwa banyak perusahaan melakukan perusakan lingkungan tidaklah
tepat, memang hanya sebagian kecil saja, dan malah banyak perusahaan
yang pemilik modalnya dari negara-negara Eropa," Ketua Gabungan
Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Cabang Kaltim,
Azmal Ridwan di Balikpapan, Minggu.
"Memang ada perusahaan yang merusak lingkungan namun tidak semuanya.
Seharusnya yang dilihat adalah nama perusahaannya, kalau perusahaannya
bagus dalam mengelola lingkungan mengapa harus dipersulit," katanya.
Apalagi, imbuh dia, potensi penjualan produk sawit besar, mengingat
sawit hanya tumbuh pada iklim tropis sehingga negara-negara Eropa tidak
mungkin bisa membuka lahan perkebunan sawit. Di Kaltim saja, kini
tercatat ada 4,9 juta hektar potensi untuk pengembangan agribisnis,
termasuk perkebunan sawit.
Azmal menilai bahwa yang dilakukan beberapa negara Eropa
terhadap hasil kebun kelapa sawit di Indonesia hanya semacam provokasi
yang tidak menginginkan Indonesia maju dengan menggunakan produk sendiri
dan tidak impor barang dari Eropa untuk kebutuhan.
Di sisi lain, ia mengakui bahwa kini masih banyak lahan kelapa sawit di
wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) yang belum dikelola oleh para pemegang
izin.
"Luas lahan yang sudah memiliki izin perkebunan kelapa sawit 2,1 juta
hektare, tapi yang baru dikelola hanya 400 ribu hektare," katanya.
Perusahaan yang telah memiliki izin pengelolaan lahan kelapa sawit
diharapkan segera merealisasikan, karena lahan masih banyak tersedia,
ujarnya.
"Kita akan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah terutama
tingkat kabupaten dan kota yang telah memberikan izin perusahaan
pengelolaan lahan kelapa sawit tapi tidak direalisasikan, bahkan
memperpanjang izinnya. Bila memang tidak memiliki kemampuan mengelola
dicabut saja izinnya," kata Azmal, menjelaskan.
Ketua Gapki mengungkapkan bahwa ada beberapa dilema yang terjadi dalam
pengelolaan lahan kelapa sawit di Kaltim diantaranya banyak investor
yang diketahui memiliki manajerial yang serius dan punya finansial tapi
tidak memiliki lahan untuk beroperasi.
"Selain itu, perkebunan-perkebunan yang profesional yang sudah
beroperasi saat ini, sudah mengalami kesulitan untuk melakukan
pengembangan lahan karena terbentur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
yang sampai saat ini belum diselesaikan antara pemerintah pusat dan
daerah," tambahnya.
Hal ini tentu saja berakibat pada tumpang tindihnya lahan baik dengan
interperkebunan maupun dengan pertambangan maupun kehutanan yang tidak
jelas.
"Karena penundaan yang terjadi berakibat banyaknya bibit kelapa sawit
yang siap tanam menjadi terlantar," kata Azmal.
Embargo Produk Sawit Hanya Provokasi Eropa
Minggu, 25 April 2010 18:26 WIB