Balikpapan (ANTARA) - Kemarau berlangsung 12 tahun. Hujan tak kunjung turun. Sungai mengering. Tanah retak.
Di tengah hutan lebat Sepaku tahun 1930-an, masyarakat adat Balik berkumpul, mencari tahu penyebabnya. Mereka percaya, alam sedang marah. Kemarahan itu bukan tanpa sebab.
Ada kabar miring. Pamali telah terjadi. Seorang ayah, Tam Leliak, telah menikahi anak kandungnya sendiri, Ten Leliak. Ini jelas pelanggaran adat berat. Sebuah tendion—yang mengguncang tatanan spiritual dan keseimbangan alam.
Tak ada pilihan lain bagi Leliak. Menyadari kesalahan, pasangan itu menyerahkan diri. Mereka dikorbankan dalam upacara adat: dibangkat—diikat, dimasukkan ke dalam peti, lalu dihanyutkan ke Teluk Balikpapan.
Tak lama setelah pengorbanan itu, hujan deras turun. Alam kembali tenang.
“Bumi ini rusak karena manusia tak lagi menghormati adat,” kata Sekion, tokoh adat Suku Balik di Kampung Lokdam, Sepaku yang menuturkan cerita itu.
Kisah Tam Leliak ini adalah mitologi, cerita yang hidup di masyarakat, dituturkan turun temurun, dengan tujuan mengingatkan.
Bagi masyarakat Balik, ini adalah pelajaran abadi tentang pentingnya menjunjung tinggi adat dan menjaga batas-batas yang diwariskan leluhur.
Tapi pelajaran itu tak selalu diingat, bahkan di tahun-tahun tersebut, saat masyarakat relatif dianggap lebih kuat dan teguh memegang tatanan.
Apalagi dalam kenyataan hari ini, masyarakat tak lagi sepenuhnya memegang aturan yang dulu menjadi penuntun.
Masa perang, kekacauan pemberontakan setelah kemerdekaan, lalu era penebangan kayu, pembukaan hutan tanaman industri, dan ekspansi perkebunan telah mengubah hutan menjadi konsesi dan meminggirkan masyarakat yang bergantung hidup di dalamnya.
Pembukaan hutan skala besar membuat hutan kehilangan fungsinya, manfaat yang selama ini dinikmati Orang Balik.
Sekion menceritakan tentang pohon banggeris—pohon yang masih bisa dilihat antara lain di kawasan Bukit Bangkirai. Di antara tanda-tanda alam yang masih dikenali, pohon banggeris (Koompassia excelsa) menjadi penanda penting.
Pohon raksasa ini menjulang di atas kanopi hutan, kulitnya licin, batangnya lurus, dan buahnya merah menyala. Ketika banggeris berbuah merah, itu pertanda kemarau panjang akan datang. Tanda ini menjadi alarm alami bagi warga untuk bersiap.
Banggeris bukan hanya penanda musim. Ia juga menjadi rumah bagi lebah hutan, penghasil madu yang dulu jadi bagian dari ritual dan pengobatan.
Di beberapa tempat, banggeris dianggap sakral—pohon yang tak boleh ditebang, tak boleh disentuh sembarangan.
Namun, banyak banggeris yang kini hilang. Hutan tempat mereka tumbuh telah berubah menjadi konsesi, jalan, dan bangunan-bangunan. Tanda-tanda alam tak lagi terbaca. Irama adat tak lagi utuh.
Meski begitu, menurut Sekion, setidaknya ada satu tempat yang masih bertahan: Sumur Tiong. Terletak di Muara Sungai Sepaku, sumur alami peninggalan leluhur ini tak pernah kering, bahkan di musim panas berkepanjangan.
Dulu, saat Suku Balik masih hidup berpindah-pindah, mereka kembali ke sumur ini untuk mengambil air.
Meski letaknya jauh dari permukiman dan aksesnya sulit, Sumur Tiong tetap dijaga. Sumur Tiong adalah juga sumber ingatan bahwa manusia dan alam bisa saling menjaga dan saling memberi.
Tapi semua itu hanya berarti jika pelajaran leluhur benar-benar dihayati. Banggeris bisa tumbuh kembali. Sumur bisa dijaga.
Tapi jika tendion dilupakan, dan pamali dianggap cerita kosong, maka kemarau 12 tahun bisa datang lagi, bukan sebagai mitos, tapi sebagai kenyataan.
Bila di masa Tam Leliak yang relatif damai saja terjadi pelanggaran adat berat, maka di masa berikutnya seperti sekarang, memegang adat adalah tantangan yang jadi tak tertahankan.
Seperti dikatakan Sekion, perubahan iklim dan musim kemarau yang melanda bukan hanya soal cuaca, tapi juga soal retaknya hubungan antara manusia, alam, dan adat.
Tapi mitologi Tam dan Ten Leliak juga menyimpan pelajaran lain: bahwa kehancuran bisa datang dari dalam. Sebelum orang luar datang membawa konsesi dan pembangunan, masyarakat sudah pernah merusak tatanan sendiri. Orang luar hanya meneruskan jejak yang sudah retak.
Lini masa bercerita dengan sendirinya. Seperti tersebut di atas, sebelum Ibu Kota Negara (IKN) hadir di Sepaku, masyarakat adat Balik sudah lebih dulu dihajar oleh gelombang eksploitasi yang mengguncang lanskap dan warisan leluhur mereka.
IKN bukan awal dari perubahan, melainkan babak baru di atas tanah yang sudah lama kehilangan irama alamnya.
“Karena itu kami di Otorita IKN akan terus berusaha untuk membangun sistem terbaik dan berkomunikasi secara terbuka untuk memudahkan masyarakat, dengan tetap selaras dengan alam dan inklusif," jelas Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri. *
