Balikpapan (ANTARA) - Tahun 1968 adalah tanda dimulainya cara baru dalam mengelola kekayaan alam Indonesia. Pemerintah mengizinkan pemodal asing masuk untuk menebang hutan atau menggali tambang. .
Di Papua, diantaranya perusahaan dengan modal dari Amerika Serikat, Freeport, mulai menggali tembaga dan emas.
“Di Sepaku tahun 1968 masuk PT ITCI, perusahaan penebangan kayu,” kata Sabardin, tokoh pengurus Forum Kesepakatan Masyarakat Sepaku (FKMS) dan kemenakan Kepala Adat Orang Balik, Sibukdin.
Pada tahun itu, Internasional Timber Corporation Indonesia (ITCI) adalah perusahaan juga dengan modal dari Amerika Serikat.
Perusahaan diberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) seluas hampir 180.000 hektare dengan durasi hingga 30 tahun..Ada juga PT Weyerhaeuser yang induknya berada di Seattle, juga Amerika Serikat.
Weyerhaeuser Company adalah perusahaan kehutanan dan pengelolaan lahan yang telah beroperasi selama lebih dari 100 tahun, dengan konsesi di berbagai belahan dunia. Namun, tidak hanya sebagai kontraktor. “Ada juga PT Sita mulai beroperasi bareng ITCI sejak 1968,” lanjut Sabardin.
Pada 1976 ITCI mendirikan PT ITCI Hutani Manunggal (IHM) dengan konsesi seluas 161.127 hektare. Berbeda dari ITCI, IHM bukan perusahaan penebangan, tetapi perusahaan hutan tanaman industri.
Lahan yang dikelola ditanami kembali dengan akasia dan eukaliptus, pohon yang digunakan untuk industri bubur kertas (pulp).
ITCI pun menjadi raksasa industri kayu sepanjang 1970-an hingga 1980-an di Kalimantan Timur, berbarengan dengan perusahaan lain seperti Barito Pacific Timber milik Prajogo Pangestu di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Dalam kejayaannya, ITCI royal menyediakan berbagai fasilitas bagi ribuan karyawan. Seperti diingat banyak orang di Balikpapan, kompleks perumahan karyawan ITCI di Sepaku bagaikan kota di tengah rimba, benderang dengan lampu neon dan bola lampu pijar saat malam tiba.
Kota ini lengkap dengan fasilitas rumah gratis, sekolah dari TK hingga SMA, rumah ibadah, rumah sakit, hingga fasilitas olahraga yang semuanya tersedia tanpa biaya.
Bahkan, air bersih dan listrik diberikan gratis, menjadikan kehidupan para karyawan relatif makmur. Setiap minggu ada kapal menuju Balikpapan, yang menjadi momen istimewa bagi karyawan dan keluarganya untuk berlibur, berbelanja, atau menonton film di bioskop.
Di komplek perumahan ini berdasarkan cerita banyak sumber, hidup berdampingan ribuan karyawan ITCI dari berbagai daerah, etnis, dan agama di Indonesia, termasuk Orang Balik, Orang Kutai, dan suku-suku lain di Kalimantan.
Namun, perubahan adalah keniscayaan. ITCI menghadapi kesulitan keuangan pada 1985. Kebijakan baru pemerintah seperti larangan ekspor kayu gelondongan membuat pendapatan menurun drastis. Sementara itu, biaya operasional tinggi semakin sulit ditutupi.
Tahun itu, ITCI berubah menjadi ITCI Kartika Utama (ITCI-KU) dengan masuknya Yayasan Kartika Eka Paksi—yayasan yang dibuat oleh TNI Angkatan Darat untuk kesejahteraan prajurit. Kedekatan dengan militer mendorong Jenderal TNI Rudini, yang saat itu menjadi Kepala Staf Angkatan Darat, untuk membantu perusahaan ini.
Meskipun bertahan, kejayaan ITCI tetap meredup. Memasuki tahun 2000-an, perusahaan kembali mengalami kesulitan finansial, menyebabkan banyak karyawan dirumahkan.
Pada saat itulah pengusaha Hashim Djojohadikusumo mulai dikaitkan dengan ITCI-KU, hingga akhirnya secara resmi menjadi Direktur Utama seperti yang tertera dalam Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM sejak 2024.
Lahan ITCI dan IHM inilah diambil kembali oleh negara dan digunakan untuk membangun kawasan utama Ibu Kota Negara (IKN).
Berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada Oktober 2019, luas konsesi PT IHM yang dilepas ke negara untuk pembangunan IKN adalah sekitar 41.000 hektare.
“Kalau transmigrasi itu tahun 1975–1977. Saya masih anak-anak tahun itu,” lanjut Sabardin mengingat.
Wilayah transmigrasi sebagian besar berada di timur Sepaku, ke arah Mentawir dan lahan konsesi PT Inhutani, badan usaha milik negara (BUMN) di bidang kehutanan.
Transmigrasi adalah program pemerintah untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa. Keluarga-keluarga dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat dipindahkan ke Sepaku, yang dalam pandangan saat itu adalah hutan lebat dan tanah belum tergarap.
Para transmigran diberikan jatah lahan seperempat hektare untuk pekarangan dan 2 hektare untuk lahan berladang atau berkebun, atau juga sawah, tergantung kondisi lahannya.
Selain tanah, mereka juga mendapatkan rumah sederhana, bantuan alat pertanian, serta pendampingan dari pemerintah selama beberapa tahun agar bisa mandiri.
Berbeda dengan karyawan PT ITCI, kehidupan transmigran di masa awal sungguh berat. Infrastruktur yang ada baru setengah jadi.
Iklim, budaya, dan ekonomi di Sepaku sangat berbeda dengan kampung halaman mereka. Banyak yang harus beradaptasi dengan cara bertani yang baru, menghadapi kondisi tanah yang berbeda, serta berusaha membangun komunitas di lingkungan yang masih asing.
Banyak yang menyerah, menjual lahannya dan pulang kembali ke tempat asal. Namun, seiring waktu, banyak dari mereka yang berhasil menyesuaikan diri dan menjadikan Sepaku sebagai rumah baru.
Program transmigrasi ini terus berlanjut hingga tahun 2000-an. Pada tahun 2023, jumlah penduduk di Kecamatan Sepaku sekitar 38.000 jiwa, yang 70 persennya atau sekitar 26 ribu lebih adalah transmigran dan keturunannya.
Mereka bekerja di pertanian, perkebunan, dan industri kehutanan, atau membuat usaha sendiri di bidang lain seperti perdagangan dan jasa.
Menurut Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), lembaga yang didirikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya di brwa.co.id di awal program transmigrasi tersebut, salah satu pemimpin Orang Balik adalah Pembakal Hawa.
“Pembakal Hawa memberikan izin stempel bagi para transmigran yang ingin menetap,” tulis laman brwa.co.id.
Perkebunan kelapa sawit skala besar juga dikembangkan di Sepaku oleh perusahaan. Masyarakat, terutama transmigran-pendatang, juga menanam sawit karena harapan pendapatan yang besar dan stabil yang diberikan komoditas tersebut.
Dalam kesempatan berbeda, Sibukdin dan Sabardin menyampaikan hal yang lebih kurang sama, bahwa sejak perusahaan-perusahaan tersebut mulai beroperasi, mereka tidak lagi bisa berladang secara adat.
Orang Balik juga tidak bisa lagi berburu di dekat-dekat kampung atau rumahnya karena payau (rusa) dan hewan lain pergi mencari hutan yang masih asri.
Konflik dengan perusahaan juga jadi kerap dan ada yang meledak menjadi kasus hukum. Saat ini masih berlangsung sidang di Pengadilan Negeri Penajam Paser Utara. Para warga menjadi terdakwa dengan tuduhan penyerobotan lahan Hak Guna Bangunan (HGB) PT ITCI Kartika Utama.
Syafarudin, Syahdin, Hasanudin, dan Rudiansyah menghadapi konflik yang berlangsung sejak 2017. Sejumlah luas kawasan di Desa Telemow yang merupakan tempat tinggal dan lahan pertanian garapan warga secara turun-temurun sejak 1940-an, diklaim PT ITCI Kartika Utama sebagai bagian dari Hak Guna Bangunan (HGB) yang dipegangnya.
Konflik yang mirip terjadi antara masyarakat Orang Balik di Pemaluan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Agro Indomas. Perusahaan menggusur kebun karet, kebun buah durian-rambutan dan kebun pisang milik warga dengan klaim kebun-kebun tersebut termasuk dalam izin perusahaan.
Warga yang marah dan menghalangi penggusuran sempat digelandang ke Polsek Sepaku. Senjata tajam, yang sebenarnya alat pertanian, yang dibawa warga disita. Untunglah setelah diproses dimintai keterangan warga tidak ditahan dan boleh pulang.
“Sekarang konflik itu terus berlanjut dengan dibangunnya fasilitas pengambilan air baku (intake) untuk kebutuhan air bersih. Saat pembangunan intake tersebut, situs Batu Badok dan Batu Tukar Tondoi yang ada di tepi sungai digusur oleh eskavator.
Batu Badok tempat orang-orang Balik membayar niat. Batu Tukar Tondoi jadi wadah persembahan untuk leluhur. Kuburan tua para leluhur juga ada di sekitar situ. Semua tempat itu dianggap sakral.
Memang, sementara proyek infrastruktur di lahan yang dikuasai ITCI bisa dibilang bebas masalah, namun pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan tol, bandara, waduk, bendungan, intake, dan program normalisasi Sungai Sepaku yang berada di luar kawasan ITCI dan membutuhkan area yang luas, mau tak mau menghadirkan konflik.
Di awal, ada musyawarah dengan masyarakat untuk menyampaikan proyek, kebutuhan lahan, dan tawaran uang ganti lahan. Ada juga sistem konsinyasi bagi warga yang masih harus menyelesaikan status kepemilikan di dalam keluarga seperti tanah warisan. Pemerintah menitipkan uangnya ke pengadilan negeri.
“Nilai konsinyasi sering kali tidak sama dengan harga pasar lahan. Masyarakat mau tidak mau, daripada tidak dapat apa-apa, ya diambil juga,” kata Usman lagi, yang lahan keluarganya terkena proyek sebagai upaya pencegahan banjir normalisasi Sungai Sepaku.
Memang, kata Usman, ganti rugi dari pemerintah sebenarnya tidak selalu tidak sesuai permintaan warga. Pada proyek normalisasi Sungai Sepaku, nilai pembayaran harga lahan warga terdampak di tahap kedua oleh Kementerian PUPR cukup untuk membeli lahan atau membangun rumah baru sehingga warga merasa senang.
“Tapi yang dapat pembayaran pada tahap ketiga, nilai kompensasinya tidak cukup untuk beli lahan yang luasnya sama dari yang terdampak. Juga bila yang kena rumah, tidak cukup untuk bangun rumah baru yang ukurannya sama,” kata Usman.
“Padahal ya kita tinggal di lingkungan yang sama di situ juga,” kata Usman garuk kepala.
Kearifan lokal IKN
Deputi Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Myrna Asnawati Safitri sangat menyadari hal tersebut.
Karena itu, Kedeputian Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam menyiapkan Rancangan Peraturan Kepala (Ranperka) Otorita IKN agar tercipta kepastian hukum bagi kearifan lokal di Ibu kota baru Indonesia.
Juga sebagai wujud pengakuan, perlindungan, dan pemajuan kearifan lokal dalam mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) agar selaras dengan alam.
"Jika membahas kearifan lokal, tentu saja kompleksitasnya tinggi karena yang dihadapi adalah masyarakat dan adat yang memiliki sejarah masing-masing. Tapi, IKN akan terus berusaha untuk membangun sistem terbaik dan berkomunikasi secara terbuka untuk memudahkan masyarakat, dengan tetap selaras dengan alam dan inklusif," jelas Myrna.
Karena itu, sambung Myrna, konsep Ranperka Otorita IKN disampaikan kepada seluruh unsur pemerintah, lembaga, organisasi, dan masyarakat terkait untuk mendapatkan saran dan tanggapan guna penyempurnaan draf kebijakan dan aplikatif di lapangan.
Otorita IKN berkomitmen untuk tidak menghilangkan apa yang sudah ada di masyarakat dan pembahasan akan terus dilakukan di internal IKN dan dengan kementerian/lembaga lain guna menemukan jalan terbaik dalam perlindungan kearifan lokal.
"IKN selalu terbuka untuk terus berdiskusi dan berdialog kepada masyarakat. Karena bagaimanapun kebijakan yang dibuat akan berdampak kepada masyarakat. Jadi kami selalu mencoba untuk meminimalkan persoalan dan mengoptimalkan komunikasi seperti ini sampai kebijakan ditetapkan," kata Myrna.
Kepala Otorita IKN Basuki Hadimuljono, menyatakan komitmen otorita untuk melaksanakan pembangunan yang berlandaskan Bhineka Tunggal Ika, yaitu IKN merupakan perwujudan budaya nasional yang memberi ruang pada kebudayaan lokal.
"Pembangunan IKN dilaksanakan secara holistik atau menyeluruh. Tidak hanya fisik, tapi termasuk pada pembangunan sosial dan lingkungannya," kata Basuki tentang konsep kebudayaan dan konservasi dalam membangun IKN sebagai kota hutan berkelanjutan.
Basuki menjelaskan, IKN akan menjadi "living lab" untuk membangun kota dengan konsep-konsep terbaru.
“Bagaimana konsep-konsep itu akan saling berinteraksi, dari sosial, budaya, ekonomi, teknologi, dan sebagainya akan sangat menarik,” tambahnya.
Bahkan, Basuki Hadimuljono memastikan terdapat kawasan cagar budaya di tanah masyarakat adat IKN. "Kami membuka kemungkinan adanya heritage area," ujarnya lagi.
Basuki Hadimuljono menegaskan masyarakat adat atau lokal di wilayah itu tetap merupakan warga IKN. Dia juga berusaha semaksimal mungkin untuk menaikkan taraf kehidupan warga dan suku lokal.
Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara juga telah berupaya melestarikan adat istiadat lokal dengan membuat payung hukum, berupa Peraturan Daerah atau Perda Nomor 2 Tahun 2017.
Regulasi tersebut berisi mengenai pelestarian dan perlindungan adat serta budaya lokal. Dengan adanya payung hukum itu, maka Suku Balik tidak perlu khawatir tergusur dari wilayah adat atau tempat tinggal karena keberadaan IKN.