Samarinda (ANTARA) - Psikolog klinis dari Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda, Kalimantan Timur, Rani Meita Pratiwi mengungkapkan bahwa ibadah puasa pada bulan Ramadhan dapat menjadi ajang latihan yang efektif untuk mengontrol emosi.
"Esensi dari menahan diri saat berpuasa bukan hanya tentang menahan lapar dan haus, tetapi juga mengelola emosi agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain," katanya di Samarinda, Kamis.
Rani mengutip teori Psycho-Cybernetics karya Maxwell Maltz yang menyebutkan bahwa pembentukan kebiasaan baru membutuhkan waktu sekitar 21 hari.
Menurut dia, jika seseorang menjalankan ibadah puasa dengan baik dan tulus selama 10 hari pertama, maka 21 hari berikutnya akan membentuk kebiasaan baru dalam mengontrol emosi.
"Mestinya ketika kontrol emosinya itu dilakukan dengan baik setelah Ramadhan, kontrol emosinya akan jauh lebih stabil," ujarnya.
Ia mengemukakan latihan mengontrol emosi selama Ramadhan seharusnya tidak hanya menjadi pengetahuan, tetapi juga dipraktikkan secara konsisten.
"Menahan emosi saat berpuasa bukan berarti menekan perasaan, melainkan mengendalikan respons terhadap perasaan tersebut," katanya.
Ia mencontohkan, ketika seseorang tidak sengaja menyakiti perasaan orang lain, orang yang berpuasa tetap mengakui rasa sakit hati tersebut, tetapi memilih untuk tidak membalas sebagai bentuk pengendalian diri dan menjaga pahala puasa.
"Mestinya 30 hari ini menjadi satu latihan yang baik sehingga bukan hanya bulan Ramadhan tetapi setelah itu bahkan misalnya sudah berpuasa 20 tahun, itu cukup menjadi bukti bahwa emosi kita bisa kita kontrol dengan efektif kok," ujarnya.
Rani menjelaskan pula bahwa emosi adalah respons fisiologis yang wajar dimiliki setiap manusia. Emosi dasar meliputi senang, sedih, takut, marah, dan jijik. Ia meluruskan persepsi umum bahwa emosi seringkali hanya dikaitkan dengan amarah.
Padahal, kata dia, emosi memiliki peran penting dalam menandakan ekspresi seseorang dalam menanggapi suatu situasi.
"Ketika seseorang sudah tidak punya emosi, justru ini dipertanyakan," katanya.
Rani mencontohkan, seseorang yang tidak tertawa saat mendengar cerita lucu atau tidak menunjukkan kesedihan saat menghadapi musibah, patut dicurigai kondisi emosinya.
Lebih lanjut, Rani menerangkan bahwa emosi tidak hanya bersifat negatif, tetapi juga positif. Ia menekankan pentingnya untuk menyadari dan mengakui emosi yang dirasakan. Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana merespons emosi tersebut dengan tepat.
"Yang menjadi buruk itu sebenarnya bukan emosi yang keluar, tetapi respons untuk melihat si emosi itu keluar," katanya.