Kota Balikpapan (ANTARA) - Skema Hutan Kemasyarakatan ditawarkan untuk menjadi jalan keluar atas status lahan tambak seluas 600 petak atau lebih kurang 6.000 hektare milik masyarakat di dalam kawasan hutan produksi di Pegat Batumbuk, Kecamatan Pulau Derawan, Berau, Kalimantan Timur.
Pegat Batumbuk ada di delta muara Sungai Segah, lebih kurang dua jam perjalanan speedboat menyusuri sungai ke timur dari ibukota Kabupaten Berau, Tanjung Redeb.
Di Pegat Batumbuk warga mengusahakan tambak sebagai tempat budidaya udang windu, ikan bandeng, dan kepiting bakau.
Tambak tidak dibenarkan ada di dalam kawasan hutan produksi karena dapat merusak ekosistem hutan, atau juga mengganggu fungsi-fungsi hutan tersebut. Petambak udang, misalnya, biasa menabur pestisida untuk membasmi keong, juga ikan, yang menjadikan udang makanannya. Sisa pakan di dalam tambak juga bisa mencemari air di luar tambak bila pintu air tambak rusak atau dinding tambak jebol.
Hutan produksi adalah hutan yang dikelola secara intensif untuk menghasilkan komoditas yang bernilai ekonomi, baik kayu atau pun non kayu seperti buah, getah, akar, kulit kayu, atau pun daun, termasuk juga rotan. Hutan produksi juga dapat dalam wujud hutan mangrove seperti di Pegat Batumbuk.
“Dengan menjadi Hutan Kemasyarakatan, budi daya tambak tradisional yang dipraktikkan warga menjadi legal,” kata Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Berau Utara, Najib, Jumat.
Najib menuturkan, KPHP Berau Utara, bersama Pemkab Berau, Pemerintah Kampung Pegat Batumbuk, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menyampaikan hal tersebut dalam pertemuan dengan warga Kampung Pegat di awal pekan ini.
Hutan Kemasyarakatan adalah satu skema dari Perhutanan Sosial, yaitu kebijakan pertanahan negara di mana masyarakat sebagai perorangan juga bisa mengelola satu kawasan hutan dan mendapatkan kesejahteraan daripadanya.
Najib melanjutkan, dengan menjadi legal, maka masyarakat bisa mengembangkan tambaknya dengan lebih baik lagi, terutama menjadi tambak yang ramah lingkungan. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat pun bisa mendampingi atau memberikan bantuan.
Di sisi lain, di Pegat Betambak juga sudah ada Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Desa. Dalam skema ini, pengelolaan hutan diserahkan kepada lembaga yang dibentuk khusus untuk mengelola hutan tersebut.
Maka adalah lahan seluas 11.180 hektare dari hutan produksi yang dijadikan hutan desa dan dikelola oleh Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Pegat Batumbuk sejak 2018 lampau. Perubahan status pada luasan lahan itu atas keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam SK.7992/Menlhk-PSKL/PSL.0/11/2018.
Tidak hanya itu, pada 2023, Pemerintah Kampung Pegat Batumbuk mengajukan usulan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seluas 1.050 hektare untuk wilayah tambak yang pemiliknya tinggal di Kampung Pegat Batumbuk.
Perubahan status lahan tersebut, tutur Kepala Kampung Pegat Batumbuk Alimuddin memberikan manfaat yang besar bagi masyarakatnya.
“Warga saya jadi lebih bersemangat bekerja dan jadi lebih optimistis,” kata Alimuddin.
“Kami sangat berterima kasih atas kepercayaan yang diberikan dalam pengelolaan Hutan Desa dan diterimanya TORA,” tambahnya.
Namun sebab masih banyak tambak yang berada di luar lingkup Hutan Desa dan TORA maka warga juga melihat Hutan Kemasyarakatan sebagai solusi.
Keberadaan Perhutanan Sosial di Pegat Batumbuk juga dapat memperkuat pengelolaan KPHP Berau Utara untuk disinergikan dengan kawasan pengembangan terpadu (Integrated Area Development atau IAD) yang sudah dikembangkan di bentang daratan Segah di bagian barat Berau.
Selainnya, seperti dikatakan Manajer Hubungan Pemerintahan YKAN untuk Berau Gunawan Wibisono, program Perhutanan Sosial ini memiliki banyak peluang untuk dibantu anggaran pembiayaannya. Program Perhutanan Sosial bisa dapat dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi, tidak menutup juga dari pemerintah pusat, hingga dari dana karbon.