Balikpapan (ANTARA) - Bagi pengacara Sugeng Teguh Santoso, kasus yang menimpa kliennya Zainal Muttaqin alias Zam dalam kasus tuduhan penggelapan aset penerbit koran harian Kaltim Post PT Duta Manuntung-PT Jawa Pos Jaringan Media Nusantara, adalah ujian buat independensi dan integritas Majelis Hakim.
Pada pekan ketiga September ini, Zam sudah menjalani dua kali sidang dengan Majelis Hakim terdiri dari Ibrahim Palino, Lila Sari, dan Imron Rosyadi.
“Apa yang dituduhkan kepada Pak Zainal itu kan serba dipaksakan,” jelas Sugeng, Rabu.
Pertama hal penggelapan aset. Bila yang dimaksud adalah penggelapan sertifikat tanah, maka kelima sertifikat tanda kepemilikan tanah seluruhnya atas nama Zainal Muttaqin sendiri.
Juga, tidak ada bukti, surat perjanjian utang-piutang misalnya, di mana Zam berutang kemudian menggunakan sertifikat tersebut sebagai jaminan. Kelima sertifikat dari lima bidang tanah di Balikpapan, Samarinda, dan Banjarbaru yang disengketakan, seluruhnya masih ada pada Zam.
“Artinya kasus ini sebenarnya adalah sengketa kepemilikan. Bukan kasus pidana penggelapan seperti yang diamarkan pasal 372 dan 374 KUHP. PT Duta Manuntung harus membuktikan dulu sertifikat tanah yang sekarang dipegang dan atas nama Zam adalah milik perusahaan tersebut,” papar Sugeng.
Pembuktian itu, dalam hukum positif di Indonesia, adalah melalui sidang perdata. Karena hal ini, maka, kata Sugeng, perkara tersebut tidak bisa dilanjutkan persidangannya secara pidana, dan Zainal Muttaqin harus dibebaskan.
Kemudian pengacara yang pernah mendampingi musisi penabuh drum Jerinx dari kelompok musik Superman Is Death (SID) itu juga menyoroti berbagai hal dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Di dalam surat dakwaan tersebut disebutkan PT Duta Banua Banjar dalam hubungannya dengan aset tanah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Menurut Sugeng, penyebutan PT Duta Banua Banjar ini menyebabkan kepemilikan aset menjadi tidak jelas.
Begitu juga dengan kapan sebenarnya kejadian melawan hukum yang dituduhkan, apakah tahun 1993, 1999, 2004, ataukah 2016. Tahun kapan kejadian yang dituduhkan berkenaan dengan masa kadaluwarsa suatu kejadian yang diatur Pasal 78 KUHP. Di pasal ini disebutkan kejadian pemalsuan atau penggelapan dengan ancaman hukuman 6 tahun seperti yang oleh jaksa dituduhkan kepada Zam dengan pasal 374 dan 372 KUHP, tidak dapat diperkarakan bisa sudah lewat 12 tahun.
Dengan demikian, bila memang ada kejadian melawan hukum yang dilakukan Zam pada 1993, 1999, atau 2004, maka sudah kadaluwarsa. Kejadian pada tahun 2016 masih bisa diperkarakan, namun tidak bisa dengan pasal 374 KUHP, sebab pada 2016, Zam sudah tidak lagi menjabat sebagai Direktur Utama PT Duta Manuntung karena pensiun pada 2012.
“Sementara pasal 374 ini bicara perbuatan penggelapan dalam masa jabatan, dalam hal ini Zam sebagai Direktur Utama PT Duta Manuntung,” tunjuk Sugeng.
Adapun, bila menggunakan pasal 372 KUHP tentang penggelapan saja, masalahnya kembali ke awal. PT Duta Manuntung harus membuktikan dulu bahwa sertifikat yang dituduh digelapkan oleh Zam adalah memang milik perusahaan. Sekali lagi, sebut Sugeng, hal itu harus dilakukan melalui sidang perdata.
“Maka jadilah perkara ini benar-benar menguji integritas dan independensi hakim dalam menilai perkara,” kata Sugeng.
Seerti diketahui Zainal Muttaqin adalah direktur utama PT Duta Manuntung antara tahun 1993-2012. Ia dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri di akhir Agustus lampau, dan setelah ditangkap di Jakarta segera diterbangkan dan ditahan di rumah tahanan negara di Balikpapan.
Sidang ketiga akan digelar Kamis 21 September dengan agenda pembacaan tanggapan jaksa atas eksepsi pembela.