Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (Satgas Sawit) bakal mencabut perizinan perusahaan sawit yang melanggar Undang-Undang Cipta Kerja.
Pelanggaran yang dimaksud adalah perusahaan sawit yang terindikasi berada dalam kawasan hutan dan tidak menuntaskan perizinan sebelum 2 November 2023, sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau UU Cipta Kerja pasal 110A.
"Kalau sebelum 2 November tidak mengajukan (perizinan), pasti kena (pasal) 110 B. Perusahaan dicabut izinnya, sanksi administrasi 15 kali PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan)," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) KLHK Bambang Hendroyono usai acara Sosialisasi Penyelesaian Sawit dalam Kawasan Hutan, di Jakarta, Senin.
Bambang mengatakan pihaknya menerapkan sistem
restorative justice dan
ultimum remedium dalam menegakkan peraturan tersebut. Pihaknya telah meminta seluruh pengusaha sawit untuk melapor sejak November 2020, dimana UU Cipta Kerja pertama kali diterapkan.
Baca juga: Tidak benar PKS Long Pinang mau dijual ke investor China
Dia menjelaskan jika pengusaha sawit yang termasuk dalam Pasal 110 A mengajukan perizinan, maka akan selesai perizinannya dalam waktu enam bulan, ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan (SK) terdaftar memenuhi syarat.
"Yang tidak mengajukan ini, yang akan terkena sanksi karena masuk Pasal 110 B," ujarnya.
Selain pencabutan perizinan usaha, sambungnya, perusahaan sawit yang melanggar juga akan dikenakan denda yang masuk ke dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) karena dianggap melakukan usaha secara ilegal.
Pada kesempatan sama Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengimbau kepada seluruh pengusaha sawit yang dimaksud agar melaporkan perusahaannya dengan segera.
"Ini kesempatan terakhir bagi perusahaan sawit untuk mendaftar," ujarnya.