Jakarta (ANTARA News) - Mary Morgan (Hilary Swank) terkejut mendapati putra semata wayangnya, George (Lux Haney-Jardine) menjadi korban penindasan di sekolahnya.
Tak terima dengan perlakuan yang diterima sang anak di sekolah, Mary meminta izin kepada Peter (Frank Grillo) suaminya untuk mengajak sang anak berlibur ke Afrika Selatan. George pun keluar dari sekolahnya untuk pergi sejenak dari Amerika Serikat bersama sang ibu selama enam bulan.
Di Inggris, Ben (Sam Claflin) sangat senang mendapat kesempatan mengajar di Mozambik. "Aku bosan melihat orang-orang Inggris," katanya kepada ayah dan ibunya, Martha (Brenda Blethyn) dan Charles (Ian Redford).
Ben yang berusia 24 tahun sempat berkelakar meminta dibelikan kamera baru yang lebih canggih yang langsung disambut penolakan ayahnya.
Di Afrika Selatan, Mary dan George tinggal di sebuah rumah dekat padang rumput. Setiap pagi, Mary mengajari George sedikit pengetahuan tentang negara yang mereka tinggali, seperti mengenalkannya kepada sosok Nelson Mandela melalui bacaan yang beredar di dunia maya.
Sementara itu, Ben mengajar Bahasa Inggris di sebuah panti asuhan yang dihuni penduduk asli Mozambik.
Tidak sengaja bertemu di satu restoran, Mary dan Martha langsung dekat meski sebelumnya belum pernah mengenal. Kepergian anak-anak merekalah yang menyatukan mereka.
"Aku tak menyangka penyakit itu menyerang anak yang lebih muda," kata Mary.
"Ben pun begitu. Obat malaria itu ia berikan kepada anak-anak didiknya, ia merasa tidak bisa terserang karena muda dan sehat," kenang Martha tentang mendiang putranya.
Di Afrika-lah Mary dan Martha menemukan panggilan jiwa mereka, menolong para pasien malaria di sana.
"Aku menyianyiakan hidupku. Aku menyianyiakan hidup putraku," sesal Mary yang bekerja sebagai desainer grafis.
Film karya Phillip Noyce ini diputar dalam rangka memperingati Hari Malaria Sedunia 25 April nanti.
Fenomena gunung es
Penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk yang mengandung parasit Plasmodium ini tidak hanya terjadi di benua Afrika.
Malaria bukan penyakit asing di negeri ini. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, tahun 2012, ada 417 ribu pasien yang positif malaria di Indonesia. Tahun sebelumnya 465.764 pasien.
"Di Indonesia Timur tinggi, sekitar 70 persen kasus malaria positif ada di Papua, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur," kata Dr. Ferdinand Laihad, Spesialis Kesehatan bagian Malaria UNICEF.
Selain jenis nyamuk yang berbeda dari yang ada di wilayah Indonesia bagian barat, curah hujan yang tinggi juga menjadi salah satu tingginya penyebab malaria di Indonesia bagian timur. Tidak hanya di daerah yang curah hujannya tinggi, daerah kering seperti NTT pun tak luput dari malaria.
Nyamuk di daerah seperti itu, kata Ferdinand, toleran terhadap baik air tawar maupun air asin. Nyamuk-nyamuk biasanya berkumpul dekat sumber air.
"Di NTT kan kering, penduduk cari air di satu tempat," jelas Ferdinand saat ditemui sebelum pemutaran film "Mary & Martha" di Erasmus Huis, Jakarta Selatan.
Selain jumlah kasus malaria yang positif menurun, angka kematian akibat malaria di Indonesia pun menurun. Tahun 2012, jumlah kematian akibat malaria 246. Pada 2011, jumlahnya lebih sedikit dari tahun sebelumnya, 388 dari yang sebelumnya 432.
Tetapi angka kematian akibat malaria itu fenomena gunung es. Menurut Ferdinand, jumlah yang tidak terlapor jauh lebih banyak. Ia memperkirakan setiap tahun sekitar 10 ribu jiwa meninggal akibat malaria.
Kesulitan mendapatkan data yang tepat mengenai angka kematian malaria pun dibenarkan Kanisius Kami dari Indonesia Malaria Care Foundation (IMCF).
"Masih banyak masyarakat di pelosok yang tidak tercatat dengan baik," katanya di acara sama.
Penduduk yang berada di pelosok umumnya kesulitan mengakses fasilitas kesehatan.
Ia memberi contoh Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, daerah binaan IMCF untuk proyek mitigasi malaria berbasis masyarakat di mana masih ada warga yang harus menempuh, paling sedikit 25 kilometer untuk sampai ke Puskesmas terdekat. (*)
Malaria untuk "Mary & Martha"
Rabu, 24 April 2013 7:59 WIB