Samarinda (ANTARA Kaltim) - Siapa yang tak kenal Kerajaan Kutai? Rasanya ahli sejarah di bumi pertiwi ini pasti mengenalnya, namun kesohoran itu tidak segaris dengan perkembangan bahasa kutai di wilayahnya sendiri.
Dalam sejarah dijelaskan, Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4 Masehi dan merupakan kerajaan tertua di Indonesia yang bercorak Hindu. Corak ini dibuktikan dengan adanya sejumlah peninggalan di antaranya berupa prasasti Yupa (tiang batu).
Prasasti yang menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta tersebut didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah ditemukannya tujuh Yupa di Muara Kaman, Hulu Sungai Mahakam atau di Hulu Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim).
Dari salah satu Yupa tersebut tertulis, bahwa Raja Mulawarman dikenal karena kedermawanannya, yakni menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana dari agama Hindu.
Lantas mengapa Kerajaan Kutai yang sangat popular itu tidak dibarengi dengan populernya Bahasa Kutai yang saat ini masih digunakan warga Kutai sebagai bahasa ibu?
Jawabannya mungkin akan bermacam-macam, tergantung dari sudut pandang pembaca tulisan ini. Namun jawaban yang paling banyak mungkin adalah karena penduduk Kutai tidak sebanyak penduduk Suku Jawa, Suku Bugis, atau Suku Banjar.
Berdasarkan pantauan ANTARA, pengguna Bahasa Kutai dengan fasih ternyata bukan hanya suku asli Kutai dan Kutai keturunan, namun juga warga pendatang yang sudah bertahun-tahun berbaur dengan warga Kutai, baik yang tersebar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, maupun Kutai Barat.
Di Samarinda yang dulunya juga masuk wilayah Kutai, hingga kini masih ditemukan sejumlah kelompok yang sehar-harinya menggunakan Bahasa Kutai, namun bahasa ibu yang lebih condong terdengar di Samarinda adalah Bahasa Banjar, disusul Bahasa Jawa, kemudian Bahasa Bugis.
Meskipun penduduk Kutai tidak sebanyak Jawa maupun Bugis, namun menurut sastrawan Kaltim Syafruddin Pernyata, Bahasa Kutai bisa dipopulerkan dengan beberapa cara, di antaranya adalah komitmen kepala darah, dan menjadikan muatan lokal (mulok) di SD wilayah Kutai.
Di Kutai Kartanegara, lanjutnya, sudah berkomitmen menjadikan Bahasa Kutai sebagai muatan lokal, sehingga kebijakan ini harus disambut baik sebagai bentuk tanggungjawab membina dan melestarikan budaya bangsa.
Bahasa Kutai adalah satu di antara bahasa daerah yang hidup dan masih digunakan oleh masyarakat Kutai. Sebagian besar penduduk Kabupaten Kutai (sekarang Kutai Kertenegara, Kutai Barat, Kutai Timur) menggunakan Bahasa Kutai sebagai alat berkomunikasi sehari-hari.
Bahasa Kutai terdiri atas beberapa dialek, namun sebagai pemersatunya, kemudian digunakan bahasa Kutai umum. (Bahrah 1992).
Semakin terbukanya daerah Kutai yang semula meliputi Samarinda, Balikpapan, Bontang, Kutai Barat dan Kutai Timur, mengkhawatirkan banyak pihak akan semakin sedikitnya penutur bahasa Kutai.
Padahal Bahasa Kutai merupakan satu di antara bahasa daerah dan bagian dari kebudayaan bangsa, merupakan aset yang patut dikembangkan dan dilestarikan.
Menurutnya, Bahasa Kutai dan sejumlah bahasa daerah lain dalam kaitannya dengan bahasa Indonesia, memiliki keterkaitan yang tidak apat dipisahkan, seperti sebagai pendukung bahasa nasional, bahasa pengantar di sekolah dasar di daerah tertentu pada tingkat permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan mata pelajaran lainnya, dan sebagai alat pengembang sekaligus pendukung kebudayaan daerah.
Sedangkan ditinjau dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, maka Bahasa Kutai memiliki fungsi sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, dan sebagai alat penghubung dalam keluarga dan masyarakat.
Dia juga mengatakan bahwa perhatian dan penelitian terhadap Bahasa Kutai selama ini tidak banyak dilakukan. Bahasa Kutai telah diteliti oleh Hairul (1964), Abdul Rahim (1975), Suryadikara (1979, 1986), Hatuwe (1982), Kawi (1986), dan Syafruddin Pernyata (1989, 1989b, 1990, 1994).
Penelitian ini penting, terutama dalam rangka pengembangan dan pelestarian Bahasa Kutai sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Selanjutnya, kata dia, menjadikan Bahasa Kutai sebagai muatan lokal bukan saja dapat mengembangkan Bahasa Kutai, tetapi juga akan berkorelasi pada pengembangkan bahasa nasional sekaligus kebudayaan nasional.
Apalagi dalam pengembangan bahasa daerah dijamin undang-undang, yakni UUD 1945 Bab XIII pasal 32. Pada pasal 1 disebutkan negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah-tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Kemudian dikuatkan dengan pasal 2 yang menyebutkan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Untuk mempercepat siswa SD menyerap Bahasa Kutai yang masuk mulok, maka sistem pembelajarannya setidaknya harus diarahkan pada 3 fungsi pokok, yaitu sebagai alat komunikasi, edukatif, dan kultural.
"Jadi guru pengajar harus berbahasa Kutai, menyanyikan lagu Kutai, selanjutnya para siswa dijak berbicara Bahasa Kutai dengan teman di kelas, biarkan saja mereka salah mengucapkan, kan ada guru pengajar yang akan membenarkan," ujar Syafruddin. (*)