Tanjung Redeb (ANTARA News Kaltim) - Wakil Ketua DPRD Berau, Kalimantan Timur H Saga menilai, aksi sejumlah warga pulau Derawan yang menduduki Pulau Sangalaki merupakan luapan rasa kekecewaan karena selama ini tidak melibatkan warga setempat dalam konservasi dan pengelolaan pulau tersebut.
"Wajar warga kesal dan kecewa karena dua organisasi pengelola Pulau Sangalaki, BKSDA dan LSM WWF, sudah tidak komitmen lagi. Padahal awalnya pengelolaan Pulau Sangalaki akan melibatkan warga setempat," kata Saga di Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur, Kamis.
Selama ini pengelolaan Pulau Sangalaki termasuk konservasi penyu dilakukan oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan LSM World Wide Fund for Nature (WWF).
Wakil Ketua DPRD Berau H Saga, yang juga putra asli Bajau yang lahir di Pulau Derawan itu menambahkan, komitmen BKSDA dan WWF pertama kali beberapa tahun lalu adalah melibatkan masyarakat setempat, tapi kenyataannya tidak begitu.
Kedua, katanya, kedua organisasi ini dinilai gagal melakukan konservasi penyu, dimana populasi penyu setiap tahunnya bukannya mengalami peningkatakan, tetapi justru mengalami penurunan.
"Dulu waktu dikelola oleh Pemkab Berau, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perkanan, jumlah populasi penyu terus mengalami peningkatan. Tapi setelah sekarang dikelola oleh mereka, justru populasi penyunya menurun," katanya.
Yang ketiga, kata Saga, warga setempat tidak boleh menikmati telur penyu, tetapi pada kenyataannya, justru telur penyu dari Berau bebas dipasarkan di Samarinda, yang dijumpai di pinggir pinggir jalan yang dijajakan oleh pedagang kaki lima.
"Ironis sekali, di Berau dilarang dijual, tetapi di Samarinda banyak ditemukan telur penyu dijual di pinggir-pinggir jalan," tuturnya.
Yang keempat, ketika warga yang ingin berkunjung ke Pulau Sangalaki dipungut biaya, termasuk bagi warga yang membawa kamera atau handycam, semua harus setor ke BKSDA.
"Itulah permasalahan yang selama ini membuat warga sangat kecewa. Sementara, Pulau Sangalaki ini bagian dari Pulau Derawan, masak orang menginjak kampungnya sendiri disuruh bayar, yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana sistem pengawasan penyu dan telurnya, sehingga populasinya menurun," paparnya.
Padahal, katanya, programnya jelas, yakni menjaga populasi penyu dan telurnya, tetapi mengapa justru jauh dari harapan.
Oleh sebab itu, Saga mengusulkan, agar Pulau Sangalaki ini kembali dikelola oleh dinas instansi terkait, agar polusi penyu dan terlurnya yang dapat menghasilkan tukik (anak penyu) dapat terjaga dengan baik.
Sebab, kata Saga, sejauh ini yang dipertanyakan adalah sejauh mana kontribusi BKSDA terhadap Pemkab Berau dan masyarakat, lalu dikemanakan pungutan yang dilakukan BKSDA selama ini, baik dari warga setempat maupun turis yang datang menikmati panorama indahnya Pulau Sangalaki.
"Karena sejauh ini kami selaku wakil rakyat tidak pernah membahas pendapatan dari BKSDA maupun dari WWF. Ini yang menjadi pertanyaan besar, dikemanakan pendapat itu semua," katanya. (*)