Jakarta (ANTARA) - Anggota KPK periode 2010-2015, Busyro Muqoddas, menyatakan teror terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, sebagai teror bermata dua - baik untuk sang penyidik maupun untuk lembaga penegak hukum itu sendiri.
"Karena (penyerangan) Novel Baswedan tidak bisa dilepaskan duduk tugas dan tanggung jawabnya sebagai penyidik di KPK," kata dia, dalam diskusi virtual "Sengkarut Persidangan Penyerang Novel Baswedan" yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), di Jakarta, Jumat.
Diskusi itu diikuti sejumlah mantan anggota KPK, yaitu Saut Situmorang (periode 2015-2019), Abraham Samad (periode 2011-2015), Bambang Widjojanto (periode 2011-2015), dan pengacara Baswedan sekaligus Koordinator KontraS, Yati Andriyani.
Baswedan diserang di dekat rumahnya, di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada 11 April 2017. Dari serangan memakai air keras kepada mukanya itu, dia kehilangan mata kirinya.
Selang dua tahun, Kepolisian Indonesia mengumumkan dua orang penyerang dia, yaitu oknum polisi bernama Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, yang menyerang dia dengan motif dendam masa lalu. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara dalam sidang 11 Juni 2020 lalu menuntut satu tahun penjara kepada mereka berdua.
Muqoddas lalu membandingkan kasus Baswedan dengan pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, pada 1996.
Menurut dia, yang menewaskan wartawan ini latar belakang pemberitaan dugaan korupsi di Pemda Bantul.
"Yang menarik ketika pengacara terdakwa Iwik yaitu pengacara yang independen berhasil mengungkap sisi sisi gelap dari apa yang didakwakan kepada Iwik ini, akhirnya sidang berubah dari skenario oleh polisi sampai akhirnya jaksa menuntut bebas saudara Iwik dan hakim membebaskan terdakwa Iwik dari semua dakwaan," kata dia.
Namun menurut dia, berbeda dengan kasus Novel.
"Artinya jaksa di Yogja waktu itu nampak berpikir objektif lalu juga menampakkan nurani sebagai penegak moralitas hukum yang objektif demikian juga hakimnya, kata dia.
"Yang jadi catatan saya adalah jaksa ini wakil negara di bawah Kejagung, Kejagung di bawah presiden. Dalam kasus Iwik jaksa di Bantul Yogja menuntut bebas tapi dalam kasus teror Novel ini jaksa justru menuntut satu tahun. Ada apa di balik semua itu?," dia berkata.
Ia menyatakan, persidangan belumlah final meski peran jaksa sudah selesai dengan dibacakannya tuntutan itu. "Mampukah wahai para aktor intelektual di balik persidangan ini tidur pulas dan tak takutkan doa Novel yang tertindas?" kata dia.
Sedangkan anggota KPK periode 2007-2011, Mochammad Jasin, mengatakan kasus Baswedan dianggap Kepolisian Indonesia dan Kejaksaan Agung sebagai perkara penganiayaan biasa yang tidak terkait dengan tugasnya sebagai penyidik KPK.
"Saya tidak ingin mempengaruhi proses hukum, kita hargai prosesnya, tapi kita boleh mengkritik. Bila kondisi ini dibiarkan, bisa juga penilaian Indeks Persepsi Korupsi juga jauh berubah, jauh, penilaian publik tidak bagus, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi juga tidak bagus, UU KPK juga tidak bagus," kata dia.
Ia mendorong agar Presiden Jokowi sebagai kepala negara mengingatkan untuk pelaksanakan penegakan hukum.
"Presiden sebagai kepala negara bisa mengingatkan, bukan bermaksud mengintervensi. Ini sudah keterlaluan sandiwaranya, bukan intervensi proses hukum yang sedang berjalan tapi ini suara rakyat yang sudah geram," kata dia.