Sampai di manakah kesanggupan Setya Novanto, bos Partai Golkar yang kini tergolek di RSCM Kencana, dalam bermanuver mengelak dari kejaran hukum yang dimainkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penuntasan skandal korupsi KTP Elektronik?
Ujung permainan Setya Novanto bercanda dengan hukum akhirnya masuk ke ranah yang menjadi pertaruhan paling akhir manusia, yakni bercanda dengan maut, yang sesungguhnya oleh banyak kalangan diyakini sebagai usaha meraih simpati publik belaka, yang jika kedok kepura-puraan itu terbongkar, habislah riwayat politiknya.
Di antara begitu banyak komentar yang muncul di tengah kabar kecelakaan Novanto, ucapan Wakil Presiden Jusuf Kalla agaknya yang paling memukau, mengena, dan menembus politik yang landasannya adalah hati nurani.
Kurang lebih beginilah komentar Jusuf Kalla: Novanto harus mengikuti proses hukum. Biasanya Novanto cepat sembuh.
Ucapan Wapres yang orang Makassar itu adalah sebentuk pasemon, sindiran menohok dalam kultur interaksi sosial di masyarakat Jawa. Orang Jawa yang konon berkepentingan dengan kebersamaan yang guyub, berusaha menghindari konflik frontal sehingga ketika berseberangan dengan pendapat lawan bicaranya seringkali menggunakan pasemon sebagai peranti komunikasi.
Namun, sesungguhnya pasemon bukan monopoli kultur Jawa. Di dunia politik, sindiran-sindiran itu seringkali menjadi praksis yang diterapkan politikus dari mana pun, tak terbatas dari komunitas Jawa.
Kalimat yang dilontarkan Jusuf Kalla bahwa biasanya Novanto cepat sembuh merupakan sindiran tajam yang bisa dimaknai dengan sekian tafsir.
Tafsir pertama: ada diskrepansi atau kesenjangan antara sakit yang diderita Novanto dan diagnosa oleh dokter yang merawatnya serta cara pengobatannya.
Tafsir kedua: ada sandiwara dalam bingkai perpolitikan Indonesia dengan banyak preseden. Ingat Ginandjar Kartasasmita, salah satu menteri ekonomi di era rezim Soeharto, yang lehernya harus ditopang penyangga, saat Kejaksaan Agung di era reformasi hendak mengusut dugaan korupsinya di masa lalu.
Kata-kata Kalla bahwa Novanto biasanya cepat sembuh merupakan pernyataan lugas yang sesungguhnya mewakili suara hati nurani publik, yang dibuat geram oleh akal-akalan yang secara terang-benderang sangat tak masuk akal.
Bagaimana mungkin seorang pesakitan yang didiagnosa sedang mengalami berbagai penyakit berat, dan sedang dirawat dengan bantuan peranti medis yang biasa dikenakan pada pasien yang kritis menghadapi ajal bisa tiba-tiba sembuh sehat segar bugar dalam hitungan jam?
Dalam ketakberdayaan politisnya, yang bisa saja secara tak terduga akan pulih dan bangkit kembali menjadi sedigdaya semula, Novanto bisa menjadi figur yang kembali mendatangkan ancaman dan petaka bagi kader-kader Partai Golkar yang mencoba berpikiran waras dalam penyelamatan elektabilitas partai.
Itu sebabnya, kalangan fungsionaris Partai Golkar berhati-hati untuk tidak mengulangi kiprah Yorrys Raweyai dan Ahmad Doli Kurnia yang terlalu kencang mendesak Novanto mundur dari Ketua Umum DPP Partai Golkar saat KPK menetapkannya sebagai tersangka korupsi KTP-el.
Akibat dari desakannya itu kedua kader Partai Golkar itu dicopot dari jabatannya oleh Novanto. Namun, pertarungan belum berakhir. Ketika nantinya Novanto berakhir dalam pertarungannya melawan politik hati nurani publik dan terjungkal di meja hukum pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor), Yorrys dan Doli Kurnia akan memperoleh kembali anugerah politik yang layak diterimanya.
Saat ini, satu-satunya benteng pertahanan politik Novanto adalah pengacaranya, Fredrich Yunadi, yang pernyataan-pernyataannya oleh eseis Goenawan Mohamad dirasakan menganggap rakyat Indonesia itu bodoh.
Pengacara Novanto juga mengeluarkan pernyataan yang bikin heboh di dunia maya. Dia antara lain akan melaporkan KPK ke pengadilan HAM Internasional. Oleh Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, pernyataan itu ditanggapi secara telak bahwa Pengadilan HAM Internasional tak akan mengurusi perkara Novanto karena hanya menangani perkara genosida dan kejahataan kemanusiaan.
Publik sejak awal menunggu sikap Presiden Joko Widodo dalam menghadapi perkara Novanto. Jokowi pun sudah menyatakan sikapnya bahwa Novanto harus menghadapi proses hukum.
Ketika Presiden dan Wakil Presiden sudah sepakat satu suara, agaknya Novanto perlu memilih jalan yang terbaik bagi citra kemanusiaannya di masa depan, bukan lagi citra politiknya. Artinya, Novanto perlu jernih berpikir bahwa karier politik siapa pun bisa berakhir tragis dan tak mungkin dipulihkan lagi, namun masih ada kesempatan untuk memulihkan sisi kemanusiaannya.
Konkretnya, Novanto tak perlu melawan hati nurani publik dan bermanuver dengan ditopang pengacara yang memang tugasnya mencari celah-celah pasal hukum yang bisa menyelamatkan sang klien. Politik hati nurani pada akhirnya mengalahkan keculasan yang dijalankan dengan melakukan manipulasi dengan segala bentuknya.
Novanto jelas tak sedigdaya Soeharto yang pada akhirnya merelakan tahta kepresidenannya lepas dari genggaman. Kegigihan Novanto untuk tidak mundur dari jabatan puncak Partai Golkar dan dari Ketua DPR adalah haknya. Namun, jika dia dengan ksatria tiba-tiba menyatakan mundur dari dua jabatan politik bergengsi itu karena hati nuraninya menuntunnya untuk berbuat demikian, publik pun akan mencatat keagungan kemanusiaannya yang masih tersisa.
Pergolakan batin Novanto untuk mengikuti suara hati nurani atau berkeras kepala untuk mempertahankan kekuasaannya sampai titik darah terakhir agaknya merupakan momen-momen kritis setiap manusia yang sedang duduk di puncak karier politiknya. Tentu tak mudah untuk menentukan pilihan itu di saat gemuruh suara yang mewakili kebaikan dan keangkaraan sedang bergolak di pikiran yang lagi kusut. (*)