Long Iram (ANTARA Kaltim) - Unit Pengelola Kegiatan Kecamatan Long Iram, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, mampu mengembangkan modal awal senilai Rp600 juta hingga kini asetnya berkembang menjadi Rp1 miliar.
"UPK Long Iram secara berjenjang sejak 2010 hingga 2013 memperoleh modal awal dari eks PNPM-MPd senilai Rp600 juta, tapi kini asetnya sudah berkembang menjadi Rp1 miliar," ujar Ketua UPK Long Iram, Eka Susanti di Long Iram, Kamis.
Perkembangan modal awal hingga bisa surplus Rp400 juta tersebut, jelasnya, diperoleh dari hasil perputaran uang yang digunakan sebagai modal usaha oleh Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (KSPP) yang tersebar di 11 kampung pada kecamatan itu.
Jenis usaha yang dijalankan oleh KSPP, antara lain berjualan sembako, pedagang kelontong, membuka kios HP plus pulsa, jual sayur mayur, dan usaha pertanian.
Dari keuntungan yang diperoleh hasil jualan oleh kelompok tersebut, masing-masing mengembalikan cicilan berikut bunganya, sehingga UPK memperoleh keuntungan dari bunga.
"Bunga yang kami tetapkan sebesar 1,5 persen per bulan atau sebesar 18 persen per tahun. Penetapan bunga sebesar itu berdasarkan kesepakatan rapat pengurus UPK, perwakilan KSPP, dan pihak terkait lintas kampung," katanya.
Dia melanjutkan, dari pengembalian oleh kelompok usaha tersebut, UPK Long Iram memperoleh jasa pendapatan atau pendapatan kotor sebesar Rp14 juta sampai Rp15 juta per bulan.
Dari jumlah pendapatan kotor itu, kemudian dipotong Rp1,7 juta untuk gaji ketua, Rp1,6 juta gaji sekretaris, dan Rp1,5 juta gaji bendahara.
Saat ini, lanjut dia, terdapat 33 KSPP di Long Iram yang memanfaatkan jasa UPK, dengan setiap kelompok rata-rata mendapat pinjaman modal usaha sebesar Rp10 juta.
Satu kelompok rata-rata terdapat lima anggota, sehingga satu anggota mendapat pinjaman modal Rp2 juta.
"Sebenarnya modal UPK Long Iram masih kurang untuk memenuhi jumlah permintaan kelompok, jadi nilai pinjamannya kami batasi Rp10 juta per kelompok meskipun banyak yang minta dinaikkan pinjamannya. Apalagi, saat ini masih ada empat kelompok yang mengantre untuk mendapatkan pinjaman," kata Eka.
Ia juga mengaku memperketat tingkat pengembalian dengan administrasi yang lebih baik, karena tidak ingin mengulang kejadian sebelum ia menjabat sebagai ketua, yakni pengembalian tidak tercatat dengan baik sehingga ada beberapa kelompok yang membayar tapi tidak tercatat dalam pembukuan.
"Dulu tidak ada kuitansi resmi dan stempel dari UPK, tetapi sekarang setiap pembayaran cicilan dari KSPP harus dibuktikan dengan kwitansi yang kami cetak, harus ada stempel, dan harus masuk dalam pembukuan," ujar Eka lagi. (*)