Balikpapan (ANTARA Kaltim) - Para aktivis lembaga swadaya masyarakat dan mahasiswa menyatakan Badan Lingkungan Hidup Balikpapan telah salah mendudukan persoalan mengenai laporan atas perusakan lingkungan hidup di Teluk Balikpapan Maret 2015.
"Bahwa pengaduan kami 2 Maret lalu itu seharusnya ditanggapi dengan menggunakan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2010," kata Direktur Eksekutif Stabil, Jufriansyah di Balikpapan, Sabtu.
Stabil bersama para aktivis lingkungan, diantaranya Paul Siregar, perwakilan nelayan Darman, dan Ketua Forum Penyelemat Teluk Balikpapan Husen melaporkan sejumlah kerusakan yang dilakukan perusahaan.
Perusahaan itu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Semen Indonesia, PT Pelindo, PT Dermaga Kencana Indonesia, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kalimantan Timur, dan Sanusi di Teluk Balikpapan, satu kawasan mangrove terbaik dan tertua di dunia serta habitat bagi bekantan (Nasalis larvatus) hewan dilindungi sebab terancam punah.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) tersebut berisi tentang tata cara pengaduan dan penanganan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
BLH Balikpapan menggunakan pasal 71 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), dimana BLH Balikpapan menyatakan tidak dapat mneyampaikan hasil verifikasi atau pengecekan atas perusahaan, dinas, dan perorangan yang dilaporkan kepada para pelapor.
"Tentu saja jadi banyak pertanyaan karenanya," lanjut Jufri.
Sebelumnya, pada Maret lampau Kepala BLH Balikpapan Suryanto berjanji untuk menindaklanjuti laporan perusakan tersebut.
"Saya berterimakasih atas laporan kawan-kawan ini," kata Suryanto.
Pelindo dalam aktivitasnya membangun pelabuhan terminal peti kemas di Kariangau telah merusak sejumlah kawasan mangrove melebihi dari yang diizinkan. Perusahaan BUMN itu meninmbun bagian hulu Sungai Puda dan dua anak sungainya untuk mendapatkan lahan kering di kawasan rawa-rawa mangrove di Kariangau tersebut.
Semen Indonesia disebutkan juga merusak sejumlah luasan hutan mangrove di Sungai Puda, namun di bagian muaranya di Teluk Balikpapan. Perusahaan juga milik negara itu menimbun hutan mangrove untuk membuat jetty atau dermaga guna bongkar muat semen curah.
PT WINA dan PT DKI adalah 2 perusahaan yang sudah lama bercokol di Teluk Balikpapan. Bahkan, menurut data Stabil, sudah sejak saat kawasan mangrove Teluk Balikpapan sebagian besarnya adalah kawasan lindung di masa Wali Kota Imdaad Hamid. Kedua perusahaan ini adalah pabrik pengolahan kelapa sawit dan menghasilkan minyak sawit mentah (CPO). Saat pabriknya masih dalam konstruksi, keduanya sudah menguruk hutan mangrove dan mematikan Sungai Berenga.
Karena aktivitasnya itu juga, menurut peneliti Teluk Balikpapan Stanislav Lhota, terjadi sedimentasi yang mematikan padang lamun dan terumbu karang. Padahal seluruhya, mulai dari hutang mangrove, padang lamun, dan terumbu karang adalah rumah bagi ikan berkembang biak. Ikan-ikan ini yang menjadi tumpuan hidup nelayan di kedua tepi Teluk Balikpapan.
"Kalau Dinas PU, mereka menguruk Sungai Tengah untuk membangun jalan menuju Pulau Balang. Mereka juga menguruk sejumlah luasan mangrove," kata Jufri.
Perorangan atas nama Haji Sanusi mereklamasi mangrove yang berada di antara Sungai Berenga dan Sungai Tempadung untuk membuat galangan kapal. Menurut Jufri, ketika dikonfirmasi ke BLH, tidak ada izin berupa AMDAL, apalagi RKL (rencana kerja lingkungan) atau UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) yang disampaikan ke BLH. (*)
Aktivis: BLH Balikpapan Salah Dudukan Persoalan
Sabtu, 8 Agustus 2015 13:24 WIB