Balikpapan (ANTARA) - Seperti hari Minggu, pagi Kamis itu cerah sekali. Hari terang dan di balik kabut ada langit biru. Para wanita Long Beliu, apakah dia Kenyah atau Gai, berdandan cantik dan mengenakan baju adat yang casual berupa rok dan rompi hitam yang penuh ornamen keemasan.
Mereka yang rambutnya hitam, ataupun yang mewarnainya dengan cokelat pirang keemasan menyanggulnya rapat. Devi Mayleani yang akan jadi pembawa acara, tengah melemaskan pita suaranya dan tersenyum sepanjang waktu. Pipinya merah muda, matanya cerah dengan bulu mata hitam yang lentik.
"Tes, satu, satu, satu dua," Devi mencoba mikrofon tanpa kabel. Suaranya terdengar jelas ke seluruh ruangan Lamin Adat Long Beliu. Bersih, tanpa denging atau pun dengung. Di pojok panggung tempat mixer perangkat suara itu, mengangkat jempol si bung teknisi.
Tamu undangan masih belum ada. Pukul tujuh lewat ini baru panitia dan para penampil yang datang satu per satu, Mereka datang diantar naik motor oleh adik, kakak, emak, atau bapaknya, juga suami atau anak ke Balai Adat di ujung barat kampung.
Ada juga yang jalan kaki saja sebab rumahnya dekat.
"Kalau masih seputar kampung kan tidak ada yang benar-benar jauh. Kalau ke ladang baru jauh," kata Devi. Apalagi hari masih pagi. Kabut bahkan masih tersangkut di pohon-pohon di puncak bukit. Matahari belum menyala.
Di jadwal, acara baru akan dimulai pukul sembilan pagi. Tamu paling jauh yang akan datang adalah pejabat dari kabupaten. Untuk beliau, susunan acara akan disesuaikan.
Jarak jalan Tanjung Redeb-Long Beliu lebih kurang 125 km ke selatan. Selepas ujung Bandara Kalimarau dan Kecamatan Teluk Bayur, jalan akan terus menanjak sedikit demi sedikit hingga dataran tinggi Kelay, di mana jalan sempit dan berkelok-kelok tajam.
Sebab sempit dan banyak kelokan itulah pergi-pulang di Jalan Achmad Jani, Tanjung Redeb-Long Beliu bisa sampai 3-4 jam. Walaupun jalan sudah mulus beraspal.
"Kita juga harus ekstra waspada karena di jalan ini juga banyak truk-truk besar pengangkut minyak sawit dan trailer pembawa alat berat," kata Saleh, sopir di Tanjung Redeb. Namun, lanjut Saleh, tentu saja waktu 3-4 jam bisa dipangkas tergantung kondisi jalan, cuaca, dan kesigapan sopir.
Di Lamin Beliu persiapan terus berlanjut. Meja paling depan setelah pintu, para penerima tamu sudah siap dengan bolpoin, suvenir, dan buku besar di mana undangan yang tiba nanti disilakan mengisi nama dan mewakili apa. Senyum mereka juga cerah ceria. Di seberangnya, para penjaga meja pameran sudah siap dengan cerita tentang benda yang disusun di atas meja.
"Kami sudah punya katalognya loh," kata Helen yang menunggui salah satu ujung meja.
Katalog yang dimaksud Helen juga ada di meja. Panitia juga menyelipkannya di dalam tas hadiah yang diberikan usai mengisi buku besar tadi. Katalog itu penampilannya seperti majalah tipis yang dicetak di kertas tebal putih mengkilat. Fotonya besar-besar dan didominasi warna cokelat tua dan cokelat muda.
Di halaman pertama ada wadah seperti ember kecil dengan tutupnya. Dituliskan tingginya 11 cm dan garis tengah 10 cm. Harganya Rp50.000.
"Ini wadah serbaguna," kata Helen. Orang di kampung mungkin akan menggunakannya untuk menyimpan buah kweni yang wangi, atau untuk membawa dua liter beras yang baru digiling, yang juga wangi, untuk dihadiahkan pada keluarga yang baru mendapat anak pertama yang tinggal di kota.
Di halaman berikutnya ada mangkok besar berkaki yang ditegaskan kegunaannya: wadah buah, harganya Rp150.000. Lalu kotak tisu, Rp100.000. Piring scallop, Rp125.000.
"Scallop itu tepi piring bergelombang, bukan lingkaran," jelas Helen lagi. Piring itu dibuat dari anyaman rotan yang membentuk segi delapan (octagon). Dari bentuknya dan kerumitan anyaman rotannya, piring scallop juga cocok menjadi hiasan dinding.
Halaman berikutnya menampilkan kotak serbaguna (ukuran panjang 24 cm, lebar 14,5 cm, tinggi 7 cm, Rp100.000). Ada lagi mangkok (Rp125.000), piring dengan diameter lingkaran 30 cm (Rp100.000), tatakan gelas (Rp15.000) diameter 10 cm, dan di halaman akhir tatakan piring (Rp50.000) diameter 30 cm plus nomor kontak Helen dan Devi. Juga barcode (kode batang) untuk di-scan bila ingin mendapatkan katalog itu secara daring.
“Pada dasarnya semuanya serba guna,” jelas Helen lagi. Kotak tisu tadi juga bisa jadi kotak obat-obatan, kotak perhiasan, atau apa saja yang bisa disimpan atau ditata di dalam kotak itu.
Dan apa pun barang kerajinannya, jaminannya sama: kuat dan awet selain juga penuh estetika.
Dan ada satu kerajinan yang sengaja tidak dimasukkan karena sudah terlampau terkenal: anjat, alias ransel khas orang-orang pedalaman ini.
Semuanya dibuat oleh para perajin yang jumlahnya hingga 40 orang, yang sebagiannya sudah berkumpul di panggung kecil di seberang meja pameran, di belakang meja penerima tamu. Para perajin, ibu-ibu yang sabar dan teliti itu, duduk berkelompok. Mereka juga berdandan cantik. Sebagian dengan kacamata bertengger di hidung, dan mulai melanjutkan menganyam rotan menjadi berbagai barang—yang kelak menjadi seperti yang dipamerkan di meja seberangnya.
Di belakang booth pameran, di balik dinding, tercium bau gurih dan hangat ikan goreng.
"Acara akan kita akhiri dengan makan siang bersama," kata Devi membacakan rangkaian kegiatan peresmian Long Beliu menjadi kampung ekowisata dengan andalan kerajinan rotan, alam-sejarah-legenda Long Beliu, dan petualangan-persahabatan.
Pelatihan Desain
Memang beda rasanya bila punya duit agak banyak. Menurut Kepala Kampung Juan Patrik Ajang, Long Beliu bisa bergerak lebih lincah setelah dana kompensasi karbon cair pada Desember 2024 lampau. Uang sebesar Rp349 juta masuk rekening kampung dan segera dipakai sepertiganya untuk membiayai program yang sudah direncanakan.
“Kami pakai untuk pelatihan menyempurnakan teknik anyaman rotan, juga studi banding ke Lombok,” kata Ajang.
Menurut pendamping masyarakat dari Yayasan Keanekaragaman Hayati (YKAN) Andi Wahyu Widayat, Lombok jadi tujuan karena memberikan contoh bagaimana mengelola industri rotan secara profesional dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Selain Cirebon dan Gresik, Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah salah satu pusat kerajinan rotan sekalipun, juga sama seperti Cirebon dan Gresik, bukan daerah penghasil rotan. Para perajin di Lombok jadi tempat belajar karena membuat banyak desain yang fungsional dan sesuai kebutuhan orang zaman sekarang. Mereka juga paham alur pemasaran dan membuat bisnisnya terus berkelanjutan.
“Jadi kami belajar juga bagaimana produk-produk ini bisa mencapai peminatnya,” kata Indra Wardhani dari Pilar Indonesia-lembaga yang juga mendampingi masyarakat Long Beliu, khususnya dalam urusan rotan dan kerajinannya ini.
Kerajinan rotan Lombok, seperti yang berasal dari Desa Beleka, Lombok Tengah, bisa ditemui di toko-toko suvenir di Mataram, di Bali seperti di Pasar Saraswati, dan jadi satu oleh-oleh yang punya banyak peminat. Turis juga bisa datang ke kampung untuk melihat langsung perajin menganyam rotan dan membeli langsung dari tangan pertama.

Dari studi banding ini juga diketahui bahwa ternyata anyaman rotan orang Long Beliu justru lebih rumit dan lebih estetis, satu hal yang membuat rasa percaya diri dan semangat para perajin menjadi lebih berlipat-lipat.
"Kualitas anyaman para perajin di Long Beliu ini kualitas internasional," kata Asisten I Sekretaris Kabupaten Berau Muhammad Hendratno sambil meraba-raba piring scallop saat baru tiba di Balai Adat.
Kemudian uang dari program dana karbon (Forest Carbon Partnership Facilty-Carbon Fund, FCPF-CF) itu juga direncanakan untuk membangun tempat khusus, sebutlah rumah produksi, bagi para perajin untuk melakukan aktivitas.
“Selama ini kan kami menganyam berpindah-pindah tempat. Bergiliran dari rumah ke rumah,” kata Bu Baun yang hari itu rumahnya jadi tempat berkumpul ibu-ibu para pengrajin.
Kalau ada tempat tetap, ujarnya, tentu menganyam lebih nyaman lagi. Bisa lebih produktif. Apalagi nanti di rumah produksi dilengkapi dengan berbagai alat yang dibutuhkan untuk mengolah rotan. Tentu juga ada bagian galeri dan etalase di mana dapat dilihat produk yang sudah jadi dan bisa dibeli.
Di sisi lain, kata Kepala Kampung Patrik Ajang, menganyam rotan adalah untuk melestarikan alam. Rotan tumbuh liar dan banyak di hutan-hutan di tebing dan lereng Sungai Kelay, Sungai Peteng, dan Sungai Gie yang mengelilingi kampung.
Tapi kalau hutannya tidak ada, tidak akan ada juga rotan sega, rotan manau, rotan sabut. Kalau tidak ada rotan, tidak ada kerajinan rotan,
Tak ada kerajinan rotan, tidak ada tikar, tidak ada piring scallop, tidak ada hiasan dinding yang eksotis. Maka bukan hanya satu mata pencaharian hilang, tapi juga satu adat, tradisi, satu budaya hilang. Padahal tradisi adalah identitas.
Bahkan tidak hanya kerajinan rotan Long Beliu yang akan kesulitan. Perajin di Lombok, di Gresik, di Cirebon, juga akan kesulitan sebab mereka mendatangkan rotannya dari Kalimantan.
Kalimantan Timur, dengan daerah produksi utama Berau, adalah penghasil rotan nomor dua di Indonesia setelah Kalimantan Tengah.
"Maka sampai kapan pun kami akan terus jaga hutan," kata Patrik Ajang.