Pada hari ketiga pelaksanaan Musabaqoh Tilawatil Quran Nasional (MTQN) XXX di Samarinda, Kalimantan Timur (Kaltim), puluhan peserta kategori tilawah tunanetra menunjukkan penampilan maksimal.
Koordinator Majelis Arena Tartil dan Tilawah Tunanetra MTQN XXX Yuliansyah di Samarinda, Rabu, menyampaikan bahwa sejak hari pertama hingga hari ini pelaksanaan berjalan lancar tanpa kendala berarti.
"Memang sempat ada keterlambatan teknis di hari pertama, karena kami masih beradaptasi dengan metode digitalisasi," ujar Yuliansyah.
Di Auditorium Universitas Mulawarman (Unmul), peserta terbagi dalam dua kategori yakni cabang tilawah golongan tartil dan tunanetra, dengan total peserta sebanyak 129 orang. Rinciannya, peserta tartil putri berjumlah 40 orang, tartil putra 41 orang, peserta tunanetra laki-laki sebanyak 26 orang, dan tunanetra perempuan berjumlah 22 orang.
Waktu kompetisi dibagi menjadi dua sesi. Pagi hari mulai pukul 08.00 WITA hingga 13.00 WITA, fokus pada tilawah golongan tartil. Sementara itu siang hari dari pukul 13.30 WITA hingga 16.00 WITA dikhususkan untuk tilawah tunanetra.
"Setiap harinya rata-rata 12 hingga 14 peserta tartil tampil, sedangkan untuk tilawah tunanetra, rata-rata delapan peserta tampil," ucap Yuliansyah.
Dia menuturkan bahwa perkembangan teknologi melalui sistem penilaian MTQN XXX tahun 2024 sangat membantu para dewan hakim dan mengefisienkan waktu.
"Hasil penilaian ditampilkan secara transparan dan bisa dilihat melalui link. Jadi, misalnya hasil penilaian hari ini, besok sudah bisa dilihat siapa saja peserta yang memperoleh penilaian tertinggi," jelasnya.
Lebih lanjut Yuliansyah menjelaskan bahwa peserta tunanetra yang tampil dalam kompetisi tersebut berdasarkan petunjuk teknis (Juknis) MTQ memiliki dua cara. Pertama, ada yang membaca dengan membawa Al-Qur'an Braille.
Kedua, ada sistem dengan menyerahkan tiga hapalan (tiga makro) yang kemudian diundi 10 menit sebelum tampil untuk dipilih salah satunya untuk dibacakan.
"Kebanyakan peserta tunanetra tampil dengan menggunakan metode hapalan. Yang membawa Al-Qur'an Braille hanya beberapa orang saja," ungkap Yuliansyah.
Ia menegaskan bahwa baik membawa Al-Qur'an Braille maupun dengan metode hapalan, proses penilaian peserta tetap sama.
"Ini adalah kekhususan bagi peserta tunanetra, sebab ada yang hanya hapal dan tidak bisa membaca Al-Qur'an Braille," demikian Yuliansyah.