Jakarta (ANTARA) - Jelang penutupan Expo 2020 yang dihelat di Dubai, Uni Emirat Arab, perempuan yang tampak tak asing itu mendatangi Paviliun Indonesia.
Dia adalah Mari Elka Pangestu, srikandi Indonesia yang sudah dua tahun lebih menjabat sebagai Direktur Pelaksana, Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia.
Memakai setelan hitam dengan lis bercorak batik, Mari menyempatkan hadir ke Paviliun Indonesia di tengah kegiatan dirinya yang menjadi pembicara dalam World Government Summit di Dubai.
Di Kementerian Perdagangan, Mari sendiri adalah sosok yang familier karena sempat menjabat Menteri Perdagangan selama periode 2004 hingga 2011.
Kedatangan Mari disambut oleh Direktur Pengembangan Promosi dan Citra Kementerian Perdagangan Merry Maryati di depan Paviliun Indonesia.
Mari pun diajak berkeliling Paviliun Indonesia yang mengusung konsep Connecting Yesterday, Today and Tomorrow guna melihat perjalanan nusantara pada masa lalu, masa kini, dan kesiapan masa yang akan datang.
Di zona Yesterday, pemandu menceritakan kepada Mari Elka tentang kekayaan rempah-rempah Indonesia yang menjadi komoditas kunci yang membuka pintu emas perdagangan Indonesia pada zaman Belanda. Rempah-rempah tersebut disusun rapi satu per satu mengikuti hamparan peta pulau-pulau di Indonesia yang dikelilingi laut biru.
Mari lalu beranjak ke zona Today yang menampilkan beragam potensi Indonesia mulai dari keanekaragaman hayati, kekayaan alam, kebudayaan seperti tari-tarian, serta wilayah-wilayah yang memiliki destinasi wisata menarik.
Ia lalu menuju zona Tomorrow yang menampilkan kontribusi Indonesia melalui kekayaan dan potensi alamnya di kancah internasional termasuk dalam hal perubahan iklim.
Di sela-sela kunjungan tersebut, ANTARA berkesempatan menyapa langsung Mari dan meminta pandangannya mengenai Paviliun Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam Expo 2020 Dubai hingga soal pemberdayaan perempuan untuk pemulihan ekonomi yang inklusif.
Berikut petikan wawancara eksklusif ANTARA dengan Mari Elka Pangestu:
Apakah kehadiran Paviliun Indonesia di Expo 2020 Dubai bisa menjadi momentum bagi UMKM Indonesia mendunia?
Seharusnya bisa, karena pengalaman kita ikut serta di world expo sebelum-sebelumnya, Paviliun Indonesia itu anggap saja sebagai etalase mengenai potensi Indonesia dari berbagai segi. Bisa pariwisata, produk-produk Indonesia, termasuk kuliner. Dan tentu tujuannya perdagangan, investasi, dan pariwisata. Tiga itu biasanya yang menjadi tujuan kita ikut serta di dalam expo.
Khusus UMKM kalau saya lihat di bawah cukup bagus display-nya untuk berbagai macam potensi produk UMKM.
Saya tidak tahu seberapa jauh sudah ada minat buyer tapi mudah-mudahan ini bisa jadi memperkenalkan produk Indonesia, apalagi itu ada restoran di sebelahnya dan ada toko untuk membeli barang, mungkin itu juga menciptakan suasana untuk mengenal Indonesia dengan lebih jauh.
Menurut anda, dukungan seperti apa yang paling dibutuhkan UMKM agar semakin go global? Pembiayaan, pelatihan, teknologi, atau apa?
Kalau menurut saya pengalaman kita ya mengenai UMKM, itu tidak bisa hanya salah satu. Dia harus didukung secara menyeluruh.
Karena kalau kita hanya mendukung akses keuangannya, tapi kita tidak bantu dia bagaimana mengemas produknya, bagaimana ia memenuhi standar, bagaimana ia memasarkan produknya dan bagaimana ia memproduksi kalau ia tiba-tiba dapat order besar.
Itu biasanya kelemahan yang kita hadapi di UMKM yang selama ini. Misalnya ia ikut berbagai macam pameran, begitu dapat order besar, itu tidak bisa dipenuhi.
Saya kasih cerita, presiden kita sendiri di Dubai di UAE waktu beliau wali kota Solo, kita ikut pameran furnitur dan resort, terus bikin rumah joglo yang terbuka gitu yang ditaruh di resort-resort.
Waktu itu sebagai wali kota Solo dapat order besar, tapi akhirnya bisa disiasati. Jadi akhirnya ada 25 atau 30 produsen yang bergabung untuk memproduksi order besar yang diperoleh dari salah satu resort di Timur Tengah.
Ini jadi PR yang selalu kita alami, begitu dapat order besar, bagaimana harusnya bisa ada proses menggabungkan UMKM yang produksi hal yang sama, tapi kan harus ada QC-nya atau quality control, mereka juga harus produksi dengan tepat waktu dan seterusnya. Itu memerlukan manajemen dan quality control.
Jadi ini semua yang harus bisa disiasati untuk sebagai suatu dukungan.
Kalau khusus untuk ekspor, Kementerian Perdagangan ada pelatihan ekspor untuk UMKM. Ini juga bagian dari yang kita lakukan di Kementerian Perdagangan setahu saya, dan masih ada kan ya?.
Seharusnya visi dari keberadaan Kementerian Perdagangan tu harusnya mulai dari perdagangan bagian produk yang hanya masih dijual di dalam negeri, di PDN ya, perdagangan dalam negeri itu ada program 100 persen Indonesia bagaimana mengembangkan produk lokal mulai dari makanan lah dan sebagainya.
Tapi kalau produk itu sudah menjadi lebih baik, dia mulai dikembangkan bisa gak produk ini diekspor.
Ada suatu proses pengembangan yang dilakukan mulai dari biasanya tuh masalah standar, ia harus memenuhi standar Badan POM kalau itu makanan, tapi mulai ia harus penuhi standar. Nanti kemudian ia mulai penuhi standar untuk ekspor. Jadi kita punya pelatihan-pelatihan untuk memenuhi standar.
Kedua, packaging. Bagaimana mengemas produk itu dengan baik sehingga ia menarik, bukan hanya barang yang ada di dalamnya tapi bagaimana mengemasnya.
Kemudian bagaimana ia mengerti harga pokok saya sekian, harga jual saya harusnya seperti apa.
Kedengarannya sederhana, tapi kan ia juga harus mengerti pasar, mengerti kira-kira ia kompetisinya harus seperti apa, pricing seperti apa,dan kemudian marketingnya bagaimana apakah ke buyer atau ke ritel.
Ini menurut saya Kementerian Perdagangan bersama-sama dengan Kementerian UMKM dan perindustrian biasanya bergabung lah untuk mendukung itu.
Bagaimana menjaga konsistensi produk UMKM agar tidak mudah "hilang" dan tetap kompetitif, setelah bisa menembus pasar internasional?
Ini susah-susah gampang ya, karena konsistensi untuk bisa memenuhi order dengan skala yang cukup. Ini selalu menjadi dilema untuk UMKM. Jadi mungkin yang terjadi misalnya pengalaman kita, misalnya untuk garmen, garmen kan di pabrik yang besar.
Tapi kalau kita bicara fashion ia kan mungkin 1.000 potong, dia sebetulnya UMKM, tapi begitu ia dapat order untuk 20.000 potong karena ia berhasil ikut di fashion show, London Fashion Week atau lainnya, jadi bagaimana ia memenuhi order itu.
Salah satu yang dilakukan di bidang fashion, kerjasama dengan pabrik garmen. Seorang fashion designer ia kan biasanya gak punya pabrik, dan investasi untuk bikin dalam volume yang besar ia tidak punya capacity.
Tapi apa yang terjadi? Ia bekerja sama dengan pabrik garmen. Pabrik garmen menyediakan satu line untuk dia bisa produksi. Karena pada akhirnya kalau mau skala, mau tidak mau harus menjadi industri, kalau tidak selalu akan kecil.
Kalau kecil, selama kita bisa seperti tadi cerita wali kota Solo, selama kita bisa menggabungkan beberapa jumlah UMKM yang harus bisa produksi barang yang sama, tapi dengan standar kualitas yang sama, itu bisa dilakukan.
Ini sebetulnya keunggulan seperti Thailand, India, modelnya seperti itu. Tapi harus ada istilahnya pengumpul, tapi pengumpulnya itu menjaga, biasanya juga meng-introduce desain, standar, kadang-kadang juga mem-provide raw materialnya, jadi ada yang meng-organize, Ini sebetulnya model-model seperti itu yang harus kita kembangkan.
Karena kalau UMKM saja sendiri, ia tidak mungkin bisa besar dan konsisten tembus. Kecuali dia niche, specialize, jadi pasarnya tidak besar tapi karena ia specialized product ia bisa pakai harga yang tinggi.
Jewelry misalnya, dia tidak banyak bikin jumlahnya, tapi karena desain dan dianggap bagus, bisa menentukan harga yang mahal, tapi ia kan bukan skala besar.
Lama menjabat sebagai Menteri Perdagangan, anda juga pernah menjadi Menteri Pariwisata. Seberapa besar sih bu dampak world expo ini bisa mendorong industri pariwisata yang kini mulai kembali bergairah?
Menurut saya, saya tidak begitu paham apa yang terjadi waktu Milan. Tapi saya banyak pengalaman waktu Shanghai, dan waktu kita ikut expo di Shanghai, apa yang terjadi? Mulai ada rute penerbangan langsung Garuda Jakarta-Shanghai. Dan waktu itu jumlah pengunjungnya jauh lebih besar.
Mungkin kurang lebih dari persentase pengunjung sama ya, kita waktu itu 8 juta pengunjung, total pengunjung expo 70 juta, jadi lebih tinggi sedikit dari 10 persen. Dan kita cukup heboh seperti di sini, dengan musik, dengan dance, dan food.
Ternyata model itu berhasil lah ya. dan saya rasa ini yang dilanjutkan oleh teman-teman yang ada sekarang. Karena ternyata musik, nyanyi, dances, dan food, itu daya tarik pertama yang menarik pengunjung.
Setelah dia masuk, dia akan mulai oh ini Indonesia. Biasanya ia tidak tahu Indonesia di mana dan apa itu Indonesia. Dan dia mulai mengerti wah ternyata Indonesia itu negara besar.
Jadi menurut saya waktu kita ikut Shanghai kita bisa lihat hasilnya dari segi jumlah, dampak utama kelihatan di pariwisata.
Kalau di investasi dan perdagangan itu mungkin lebih lambat kelihatannya, tidak hanya karena paviliun, tapi dengan upaya-upaya bilateral yang lain. Tapi karena waktu itu kita cukup dikenal dan terkenal, sebetulnya karena makanan ya, begitu kita mulai jualan sate.
Iya bener loh, bau sate itu banyak menarik orang. Kopi, kita jual kopi luwak di situ. Dan ini memang kita harus memahami pasar, kopi luwak waktu itu dijual cukup mahal ya, dijadikan specialty gitu ya. Jadi orang ke situ, wah ini kopi yang termahal di dunia. Kira-kira gitu ya. Jadi membuat novelty.
Kalau di sini mungkin strateginya agak berbeda, saya tidak tahu musik apa yang dilakukan di luar, tapi kelihatannya cukup heboh ya. Ada yang modern, ada yang tradisional.
Jadi jangan hanya keluarkan yang tradisional. Jadi waktu kita di Shanghai, kita localize, jadi penyanyi batak yang nyanyi tiap hari itu bisa nyanyi lagu mandarin, dan begitu ia nyanyi lagu mandarin, wah semua yang antri panjang itu dia terhibur kan. Jadi ia gak apa-apa tunggu lama untuk masuk ke paviliun kita. Jadi hal-hal seperti itu lah. Trik-trik untuk buat heboh, membuat menarik.
Pengalaman saya menjadi menteri pariwisata, gak banyak orang yang tahu Indonesia. Dia tahunya Bali, tapi di tidak tahu Indoensia. Dia pikir Indonesia itu bagian dari Bali. Jadi ini memang education dan publication untuk public awareness yang luar biasa. Paviliun selama enam bulan punya potensi itu.
Berarti goal utama ikut world expo memang nation branding ya?
Iya, goal utamanya nation branding. Saya waktu sempat menjadi menteri perdagangan sempat bikin studi, yang mana duluan nih, pariwisata, kemudian pariwisata yang membuat perdagangan dan investasi masuk. Yang mana yang duluan nih.
Pada waktu itu pak Joop Ave (Menteri Pariwisata era Orde Baru) bilang, sebetulnya "You know tourism drive trade and investment". Hah oke saya pengen tahu nih, saya pengen buktikan. Tapi ternyata inkonklusif untuk Indonesia, Tapi untuk Thailand dan Malaysia itu jelas tourism did drive trade and investment.
Makanya waktu itu kesimpulannya kita harus lebih kuat nation branding-nya , karena Thailand dan Malaysia kan kuat nation branding-nya. Jadi mulai dari nation branding, menarik turis, turis itu kalau ia pulang ke negaranya, oke saya pengen minum kopi yang tadi saya minum ya.
Oke saya mulai jadi importir, lama-lama dia masuk menjadi investor untuk produksi di Indonesia, mungkin untuk ekspor balik ke negaranya atau ia mulai punya hubungan begitu ia mulai mengenal negaranya. Itu sebetulnya teori TTI, Tourism Trade and Investment. Maka itu harus jalan bersama-sama itu, Kementerian Pariwisata, Kementerian Perdagangan, dan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal). Itu harus sebetulnya tiga yang tidak terpisahkan semestinya.
Beralih ke ekonomi makro, Indonesia saat ini tengah berjuang untuk bisa pulih usai terpukul pandemi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa mencapai level pertumbuhan ekonomi sebelum pandemi?
Sebetulnya kalau Indonesia tumbuh lima persen tahun ini ya, harusnya kita sudah kembali ke level per kapita sebelum pandemi. Sudah mendekati lah. Karena Indonesia kontraksinya tidak terlalu parah dibanding negara-negara lain.
Tapi apakah kita bisa maintain pertumbuhan lima persen? Ini yang menjadi PR, apalagi sekarang tambah lagi ada konflik atau perang di Ukraina yang membuat ketidakpastian meningkat. Tapi Indonesia sebetulnya mulai tahun lalu diuntungkan dengan harga komoditi yang naik, itu sebetulnya menguntungkan kita dalam arti kita dapat foreign exchange reserves, ekspor kita meningkat.
Nah ini kita agak diuntungkan dengan itu. Tapi bagaimana nanti kita ke depan, kita tetap masalah utama kita yaitu bagaimana kita mendiversifikasi sumber-sumber pertumbuhan dan produk-produk ekspor kita.
Anda baru-baru ini menulis soal empower women enterprenuer sebagai kunci pemulihan yang inklusif. Boleh dielaborasi?
Intinya kalau dalam human capital atau SDM kita 50 persen adalah perempuan, harusnya kalau kita ingin tumbuh kita harus memberdayakan secara penuh 50 persen SDM kita yang perempuan. Sebagai angka saja, yang disebut tingkat partisipasi pekerja antara perempuan dan laki-laki, Indonesia itu masih 53 persen, jadi berarti perempuan yang harusnya bisa bekerja di labor force, jadi umur itu berdasarkan umur 14-65 tahun, itu hanya 53 persen yang bekerja.
Mungkin sudah sedikit naik, tapi angka yang terakhir saya lihat beberapa tahun yang lalu itu 53 persen. Laki-laki itu sekitar 80 persen. Jadi artinya banyak perempuan yang seharusnya bekerja dan produktif itu tidak bekerja. Nah ini apakah karena masalah diskriminasi di dalam peraturan-peraturan, atau dari segi dia tidak dihitung lah ia sebetulnya bekerja, tapi bekerjanya di rumah, untuk menjaga anak dan seterusnya.
Sekarang lagi banyak yang mengatakan itu, caring for your family is actually also work you should be valued. Nah ini berapa hal dan intinya kalau kita ingin supaya SDM yang 50 persen ini bagian dari kekuatan suatu negara, kita harus bisa menciptakan equality, kesetaraan gender, mulai dari bayi perempuan lahir ia harus dapat asupan dan pelayanan kesehatan yang sama.
Nanti ia harus bisa sekolah, akses untuk sekolah dari kelas nol sampai SMA aksesnya juga harus sama, nanti kalau ia sudah lulus ia harus bisa mendapatkan kesempatan pekerjaan yang sama dan upah yang sama.
Karena upah untuk pekerjaan yang sama masih beda antar laki-laki dan perempuan, perempuan biasanya dapat lebih rendah. Ini semuanya empiris ya. Maka itu setelah itu bagaimana kita bantu mengembangkan tergantung ia bekerja sebagai profesional atau enterpreneur.
Kalau ia bekerja sebagai profesional, bagaimana seorang perempuan itu bisa terus naik begitu ia punya keluarga. Kadang-kadang ia harus berhenti kerja, mungkin bukan karena apa-apa, atau misalnya karena harus menjaga anak.
Tapi kalau misal di tempat kerja dia ada tempat penitipan anak-anak, seperti Bank Dunia yang punya penitipan anak yang luar biasa bagusnya. Jadi orang tuanya itu datang pagi-pagi ia drop anaknya di tempat penitipan anak terus ia kerja entar pulang ia ajak anaknya pulang. Artinya kalau ada yang bisa jaga anak-anak di tempat kerja, ia bisa terus kerja. Jadi bagaimana tempat kerja itu mendukung perempuan.
Di sini (Dubai) luar biasa loh kemajuan di dalam hal itu. Tau gak di sini baru mengeluarkan parental leave. Jadi kalau kita punya anak, perempuan kan dapat cuti tiga bulan cuti untuk melahirkan, di sini perempuan dapat tiga bulan nanti suaminya juga dapat tiga bulan.
Saya dari dulu bilang ini lah yang harus dilakukan. Ini di sini loh di negara yang bisa dibilang cukup tradisional dalam hal agama dan sebagainya, di sini banyak kemajuan dalam hal itu dan bagaimana akses untuk pekerjaan.
Untuk enterpreneur, memang secara empiris women on businesses, jadi UKM-UKM dan bisnis yang dimiliki oleh perempuan itu lebih banyak kendala dibandingkan laki-laki, apakah karena akses keuangan, apakah karena ia kurang bisa masuk ke digital. Ini kendala-kendala ini harus bisa diatasi agar mereka bisa jadi enterpreneur.
Apalagi sejak pandemi transformasi digital juga makin masif ya?
Iya, tapi data kita menjunkkan bahwa women on businesses were very less-able to adopt digital. Jadi ini juga jadi finding kita. Jadi maka itu harus di-strengthen the ability women on businessses supaya bisa adopsi digital.
Pandemi ini dampaknya jauh lebih negatif untuk perempuan dibanding laki-laki untuk berbagai macam hal, mulai dari women on businesses, mulai dari yang kehilangan pekerjaan karena rata-rata harus menjaga keluarga, karena ini lockdown anaknya tidak sekolah mau tidak mau ia harus stop kerja untuk mengurus keluarganya.
Jadi income loss, job loss, dan women on businesses, closing down itu jauh lebih tinggi dibanding laki-laki. Belum lagi health services untuk perempuan menurun karena semua health services ditujukan untuk pandemi.
Salah satu yang menjadi kekhwatiran kita, anak-anak perempuan yang tidak balik ke sekolah. Kalau ia sudah belasan tahun oleh orang tuanya ia dikawinin, tapi ia tidak kembali sekolah lagi. Ini terjadi di banyak negara sehingga ia lost opportunity untuk bisa mendapatkan akses to education.