Jakarta (ANTARA News) - Perbedaan pendapat terus terjadi antara dua lembaga penyelenggara pemilihan umum, KPU dan Bawaslu, bahkan perang undang-undang dan peraturan pun terjadi, terutama dalam penetapan partai politik (parpol) peserta Pemilu 2014.
Sejak ditetapkannya parpol peserta Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kebanjiran laporan pengaduan dugaan pelanggaran selama proses verifikasi paprol.
Sebanyak 13 dari 24 parpol, yang gagal verifikasi, mengajukan permohonan gugatan mereka karena tidak diloloskan menjadi peserta Pemilu 2014.
Ke-13 parpol tersebut yaitu Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDB), Partai Karya Republik (Pakar), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Pekerja dan Pengusaha Indonesia (PPPI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Nasional Republik (Nasrep), Partai Serikat Rakyat Independen (SRI), Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) dan Partai Kongres.
Namun, dari semua parpol tersebut hanya satu yang menurut Bawaslu dapat dikabulkan permohonannya, yaitu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), salah satu parpol peserta Pemilu 2009.
"Bawaslu menetapkan, mengabulkan permohonan pemohon dan membatalkan Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu 2014, sepanjang untuk Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) Indonesia," kata Ketua Bawaslu Muhammad dalam pembacaan sidang keputusan, Selasa (5/2).
Dalam Keputusan Sengketa Bawaslu Nomor Permohonan 012/SP-2/Set.Bawaslu tersebut, KPU dianggap tidak menjalankan tugasnya secara optimal dalam tahap verifikasi di sejumlah daerah terpencil.
KPU dinilai tidak melakukan verifikasi faktual hingga ke kecamatan yang secara geografis sangat sulit dijangkau, antara lain di Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat.
Di Kecamatan Hiliran Gumanti, Solok, verifikasi faktual tidak dilakukan secara maksimal karena kondisi geografis wilayah tersebut yang melalui perbukitan terjal dan jalan setapak.
"Padahal apabila melakukan verifikasi faktual sampai kecamatan tersebut tentu saja dapat memahami permasalahan geografis yang menyebabkan Pemohon tidak dapat menghadirkan anggota PKP Indonesia yang berada di kecamatan tersebut tepat waktu sesuai dengan waktu yang diberikan," menurut putusan Bawaslu.
Selain itu, terkait hal keterwakilan perempuan di sejumlah daerah di Provinsi Sumatera Barat dan Jawa Tengah dianggap tidak harus dipenuhi di daerah, karena itu hanya bersifat wajib di tingkat pusat.
"Berdasarkan penilaian Bawaslu, ditegaskan sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Legislatif DPR, DPD, dan DPRD pasal 8 ayat 2 huruf (e), bahwa keterwakilan perempuan pada kepengurusan di tingkat pusat. Sedangkan klausa `memperhatikan` keterwakilan perempuan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak bersifat wajib," tegas Bawaslu.
Oleh karena itu, dalam Keputusan Sengketa, Bawaslu juga memerintahkan KPU untuk menerbitkan Keputusan KPU yang menetapkan PKPI sebagai peserta pemilu 2014. "Memerintahkan KPU untuk melaksanakan keputusan ini," tambah Muhammad.
Putusan Bawaslu Ditolak
KPU pun tidak ingin menerima begitu saja menerima putusan Bawaslu, butuh waktu hingga enam hari sejak pengeluaran putusan Bawaslu untuk mengambil sikap terkait keikutsertaan PKPI.
"Kami menyepakati tidak dapat melaksanakan keputusan Bawaslu Nomor 012/SP-2/Set.Bawaslu/I/2013 tersebut," kata Ketua KPU Husni Kamil Manik didampingi sejumlah komisioner di Kantor KPU Pusat Jakarta, Senin (11/2).
KPU berdalih bahwa Bawaslu telah melampaui wewenangnya sebagai lembaga pengawas penyelenggaraan pemilu dalam putusan itu.
Dalam Pasal 259 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu dijelaskan bahwa keputusan Bawaslu mengenai sengketa pemilu merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu dan daftar calon tetap anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Bawaslu tidak berhak menetapkan parpol sebagai peserta pemilu, karena itu adalah wewenang KPU.
"Logika hukumnya peraturan KPU masih berlaku dan belum dibatalkan. Bagaimana mungkin dapat dilakukan koreksi terhadap hasil keputusan verifikasi faktual tersebut," tegas Komisioner KPU Bidang Hukum Ida Budhiati.
Menurut KPU ada beberapa hal yang bermasalah dalam pertimbangan hukum Bawaslu yang meminta KPU mengoreksi Keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu 2014 dan meloloskan PKPI menjadi peserta pemilu tahun 2014.
Bawaslu tidak konsisten dalam memberikan penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh KPU selama proses persidangan ajudikasi.
Di sejumlah kasus verifikasi daerah, KPU provinsi dijadikan sebagai alat bukti karena dianggap sebagai bagian dari KPU Pusat secara insitiusional.
Namun di sejumlah kasus lain, KPU provinsi justru dinyatakan bersalah karena keterangannya selama persidangan dianggap tidak memiliki nilai pembuktian.
Untuk kasus di Provinsi Jawa Tengah, keterangan KPU Provinsi dapat diterima dan menjadi alat bukti di Kabupaten Klaten. Tapi di Kabupaten Grobokan, keterangan KPU Provinsi tidak dapat diterima, dengan alasan KPU tidak mengalami, mendengar dan melihat sendiri proses verifikasi.
"Jadi ada inkonsistensi Bawaslu dalam menilai keterangan KPU," tandas Ida Budhiati.
Selain itu, KPU menuding Bawaslu tidak berimbang dalam menggunakan alat bukti sebagai pertimbangan Putusan.
Sejumlah alat bukti yang sudah diserahkan KPU tidak digunakan sebagai pertimbangan dalam Putusan Bawaslu, sementara bukti yang tidak pernah dihadirkan PKPI, sebagai penggugat, selama persidangan justru dimasukkan dalam Putusan.
"Padahal dalam bekerja Badan Pengawas Pemilu juga harus transparan dan akuntabel sebagai ukuran profesionalisme yang dituntut oleh undang-undang," menurut KPU. (*)