Balikpapan (ANTARA) - Tugu itu ada di alun-alun Kota Nunukan. Sebuah Plavayushchiy Tank (PT)-76 buatan Uni Soviet keluaran tahun 1961, tank amfibi legendaris yang dipakai marinir Indonesia hingga setengah abad, diparkir bersebelahan dengan sebuah meriam Howitzer M-30 kaliber 122. Howitzer dari tahun 1941 ini pun tak kalah legendarisnya, dan juga buatan Soviet Rusia.
Tugu yang dibuat TNI AL ini untuk mengenang mereka yang sudah berkorban dalam Operasi Dwikora di masa konfrontasi dengan Malaysia antara tahun 1962-1965.
Tugu ini didirikan di Nunukan sebab kota inilah yang menjadi satu dari banyak basis pijakan untuk menyusup ke negeri jiran itu.
Garis pantai yang panjang dan laut yang sempit memudahkan para relawan gerilyawan Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) melintas batas untuk berjuang mencegah pembentukan negara boneka Federasi Malaysia bikinan Inggris.
“Begitulah ceritanya antara lain, tergantung dari sumber mana kita mendapatkan kisahnya,” kata Sukoco, jurnalis di Nunukan.
Bertahun-tahun kemudian, setelah kedua negara kembali berdamai dan hidup berjiran-bertetangga, Indonesia tetap mengirim orang ke Malaysia.
Sebagian masuk resmi lewat gerbang imigrasi, sebagian masih seperti gerilyawan, menyusup merunduk-runduk di perbatasan, lalu berbaur di kota atau menghilang di kebun-kebun sawit.
Malaysia tidak tinggal diam. Mereka membalas dengan mengirim ‘Apollo’ dan ‘Milo’, dan memenuhi toko-toko tertentu di Nunukan, Tarakan, bahkan hingga Tanjung Redeb, Berau, dengan berbagai produk bijirin sarapan Nestle, bersamaan dengan tong-tong gas warna kuning dari Shell dan warna hijau muda dari Petronas.
Malaysia di Perutku
"Di Nunukan ini, boleh saja semboyan Garuda di Dadaku, tapi Malaysia masih di perutku," seloroh Niko Ruru, warga perantau dari Toraja. Istilah itu datang dari kenyataan begitu banyaknya kebutuhan yang didatangkan dari Malaysia oleh warga.
Jarak Tawau, kota paling selatan Sabah, hanya perlu 90 menit dengan speedboat untuk sampai ke Nunukan. Sebaliknya, kalau dari dari Tarakan di selatan, yang adalah kota besar dan ramai di bagian utara Indonesia ini, setidaknya makan waktu 120 menit naik speedboat ke Nunukan.
Jarak yang dekat membuat ongkos angkut barang Malaysia bisa ditekan. Harga jualnya kembali ke masyarakat pun jadi murah. Suplainya juga cukup dan selalu tersedia.
“Fakta itu memang susah kita lawan, setidaknya saat ini,” kata P Abil dari Marketing Operation Region (MOR) 6 Pertamina yang mengurusi distribusi gas untuk Nunukan, Tarakan, dan daerah-daerah lainnya di utara.
Abil memaparkan, elpiji Pertamina dalam kemasan tabung warna biru isi gas 12 kg saat ini dibanderol Rp180 ribu. Kalau beli sekalian tabungnya, Rp750 ribu. Sebagai pembanding, harga di Balikpapan untuk kemasan yang sama adalah Rp155 ribu di pengecer di pinggiran Kota Minyak.
Sementara itu harga gas dari Shell si tabung kuning dan gas dari tabung hijau Petronas Rp160 ribu. Kalau sedang langka bisa naik sampai Rp250 ribu atau lebih kurang RM75 (Ringgit Malaysia).
Tidak hanya itu, “Tong Shell dan tong Petronas ini lebih besar dari yang biru punya Pertamina. Kapasitasnya 14 kg,” kata Hajjah Napisah alias Bu Haji, pemilik toko di Jalan Tien Soeharto, Nunukan.
"Makanya kelihatan lebih gendut daripada yang biru punya Pertamina," sambung Bu Haji.
Jadi, ibarat kata main bola, kata Nico sambil menikmati sarabba, Shell dan Petronas unggul sudah 2-0. Gasnya lebih banyak, harganya lebih murah, dan juga selalu ada.
Petronas adalah badan usaha milik negara Malaysia yang khusus mengurusi minyak dan gas (migas), sama seperti Pertamina milik Indonesia. Shell adalah perusahaan migas swasta yang sudah berusia ratusan tahun, milik orang Belanda namun didaftarkan di Inggris dan memiliki bisnis migas di seluruh dunia.
Shell ada di Malaysia sebab Malaysia dulu jajahan Inggris dan anggota persemakmuran atau organisasi negara-negara bekas jajahan Inggris.
Di Nunukan, tong gas Shell dan Petronas diimpor dari Tawau, kota yang yang lampu-lampunya kelihatan dari Pulau Sebatik.
"Sementara kita datangkan elpiji dari Balikpapan. Seminggu baru sampai sini," kata Bu Haji lagi.
Balasan Pertamina
Sementara itu, di bawah kepemimpinan Bupati Asmin Laura Hafid, Kabupaten Nunukan mendapat penghargaan sebagai Kabupaten Inovasi. Bupati Laura menunjukkan ia memang punya visi dan misi, dan konsisten menjalankannya begitu kekuasaan diamanahkan kepadanya.
Kepemimpinan Laura yang memotivasi memunculkan orang seperti Ramsidah yang berhasil membuat banyak jamban murah dan sehat untuk keluarga di tengah pemukiman warga miskin.
"Sekarang tantangan buat saya dan jajaran Pemkab Nunukan beserta seluruh masyarakat adalah membuat produk-produk Indonesia, produk negeri kita sendiri, bisa diminati masyarakat Nunukan ini," kata Bupati Laura di bulan Oktober 2018. Nunukan harus jadi pasar yang baik bagi produk-produk dalam negeri, meskipun lokasi geografisnya dekat dengan luar negeri.
“Masyarakat perlu mengetahui bahwa dengan menggunakan produk dalam negeri dapat memicu dan memacu perekonomian bangsa," kata Bupati.
Dari sekian banyak produk, yang diputuskan “Harus Indonesia” adalah gas sebab ada Petronas dan Shell Malaysia dibalik tong hijau dan tong kuning yang menikmati keuntungan dari uang orang Nunukan. Uang itu harus ditarik pulang ke negeri sendiri agar berputar di kalangan bangsa sendiri.
"Jadi kita harus pakai produk gas kita sendiri," tegas Bupati Laura yang tahun itu berusia 33 tahun.
Laura tahu tantangannya jauh lebih daripada sekadar membuatkan jamban sehat bagi warga miskin.
“Saya mulai dari yang bisa saya atur dulu,” katanya. Untuk seluruh Nunukan, jumlah ASN mencapai 4.000 orang dan tersebar sampai kampung di pedalaman. Kebijakan itu tentu bertahap dan tidak serta merta.
Pertamina pun mendaulat Bupati Laura menjadi Duta Bright Gas. Di awal kebijakan itu berjalan, Pertamina mendukung dengan menyuplai 500 tabung kemasan 12 kg per bulan.
Lalu tantangan bermunculan. "Masyarakat bertanya apa bisa tabung Petronas atau Shell diterima tukar dengan tabung elpiji Pertamina. Atau malah apa tabungnya bisa gratis saja, hitung-hitung minta maaf karena baru saja setelah sekian puluh tahun Pertamina melayani," kata Abil.
Memang, untuk mendapatkan gas asli Indonesia, orang harus beli tabung biru 12 kg, atau tabung pink 5,5 kg. Harga tabung biru itu Rp580-650 ribu per buah.
"Sementara saya ada tabung hijau ini. Kalau gasnya habis tinggal tukar dengan yang isi, cukup bayar Rp250 dapat 14 kg. Kenapa saya mesti keluar duit beli tabung baru Rp650 ribu terus dapat hanya 12 kg ba," kata Basri, warga Nunukan Selatan.
Kalau ASN tentu punya alasan untuk patuh pada perintah Bupati. Kalau warga masyarakat biasa, ya pikir-pikir dan hitung-hitung duitnya.
"Apalagi banyak warga yang punya lebih dari satu tabung Petronas atas Shell, itu bagaimana coba," kata Basri lagi.
Abil menjawab bahwa mengubah pola konsumsi, apalagi pola pikir, memang tidak mudah. Apalagi untuk hal-hal yang sudah berurat berakar seperti menggunakan produk gas Malaysia itu.
Inovasi marketing atau pemasaran standar setidaknya sudah dimulai. Pernah ada untuk pembelian elpiji 12 kg atau Bright Gas 5,5 kg tabung isi ulang ada kupon yang diikutkan undian berhadiah.
Pertamina menyediakan berbagai barang elektronik seperti kulkas, dispenser, dan banyak regulator gas.
Sekarang, setelah 2 tahun, penjualan produk gas nonsubsidi Pertamina itu naik 3 kali lipatnya, menjadi 1.500 tabung per bulan.
Abil pun menambahkan satu informasi penting yang bisa jadi titik balik. “Stasiun pengisian elpiji di Tarakan sudah siap. Mudahan di awal tahun tahun depan sudah bisa beroperasi,” ungkapnya.
Bila pengisian dilakukan di Tarakan, maka dipastkan harga jual si biru 12 kg akan sangat bersaing, bahkan bisa lebih murah daripada tong-tong gendut milik Malaysia.
“Harganya akan sama dengan harga di Balikpapan, sekitar Rp150 ribuan,” kata Abil.
Harga itu dijamin akan membuka penetrasi pasar lebih luas lagi. Bukan tidak mungkin seloroh Abil, malah akan terjadi serangan balik ke Tawau, si biru disusupkan ke negeri jiran itu.
"Nunukan adalah Kota Perjuangan. Tugu Dwikora masih berdiri kokoh sebagai bukti. Ayo sama-sama kita kobarkan Api Cinta Indonesia di perbatasan,” tegas Bupati Laura.