Samarinda (ANTARA) - Menteri Perhubungan dan Menko Maritim dan Investasi (Marves) dinilai saling lempar tanggung jawab soal tarif angkutan penyeberangan sehingga tidak kunjung ditetapkan meskipun sudah dibahas selama 1,5 tahun lebih.
Menurut Bambang Haryo Soekartono, anggota DPR RI periode 2014-2019, molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan Menhub dan Menko Marves tidak profesional dan konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.
"Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan, sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 bulan," katanya kepada pers.
Bambang Haryo yang juga Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), mengaku sudah bertemu langsung dengan pejabat di Kemenko Marves yang ditugaskan Menko Luhut mengevaluasi tarif.
"Pejabat yang merupakan Staf Ahli Menko Marves itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub," ujarnya.
Menurut dia, Kemenko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Menhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil, meskipun Kemenhub sudah membahasnya bersama Gapasdap selama 1,5 tahun.
"Menhub Budi Karya dan Menko Luhut saling pingpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional," ungkapnya.
Keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan baru pertama kali, dikarenakan penerbitan Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
"Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi," cetusnya.
Peringatkan Menhub
Apabila Menko Luhut dan stafnya profesional dan mengerti dan memprioritaskan maritim, seharusnya Menko Marves mengingatkan Menhub agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat.
Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38% dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi.
Berdasarkan hitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus sebenarnya dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni sekitar 0,15%.
Artinya, komoditas misalnya beras seharga Rp10.000 perkg kenaikannya berkisar Rp15 perkg apabila tarif dinaikkan sekaligus 38 persen.
"Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia," tegasnya.
Mengenai pengakuan Staf Ahli Menko Marves yang menyebut belum punya data angkutan penyeberangan, Bambang Haryo menilai hanya mencari alasan. Karena Kemenhub mengaku sudah menyerahkan semua data terkait angkutan penyeberangan, Menko Marves bisa dengan mudah meminta data dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).
Dia mengatakan, PT ASDP yang merupakan kaki tangan pemerintah disektor penyeberangan memiliki semua data yang diperlukan Menko Marves seperti pendapatan dan biaya.
"ASDP tahu persis pendapatan perusahaan penyeberangan karena dia yang menjual tiket, ASDP juga tahu persis biaya operasional kapal karena dia operator kapal dan memungut biaya kepelabuhanan," jelasnya.
Bambang Haryo mengatakan, penyesuaian tarif penyeberangan untuk membuktikan apakah Menhub dan Menko Marves bisa menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim.
Kedua kementerian tersebut dianggap begitu cepat menanggapi tarif ojek online tetapi tarif kapal feri yang merupakan industri maritim malah diundur-undur, padahal, risikonya jauh lebih besar untuk menjamin keselamatan nyawa publik.
"Mana prioritas maritim yang menjadi jargon Pak Jokowi menjadi perhatian kedua kementerian tadi. Dan apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi pasti akan disalahkan rakyat karena logistik antarpulau seluruh Indonesia macet total dan ekonomi terganggu," ujarnya.
Bambang Haryo: Menteri Terkesan Tidak Kompak, Omnibus Law Sulit Diterapkan
Sabtu, 25 Januari 2020 12:37 WIB
Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan, sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji...,