Balikpapan (Antaranews Kaltim) - Perayaan Hari Ulang Tahun Ke-73 Kemerdekaan Republik Indonesia ditandai Borneo Orangutan Survival Foundation dengan melepasliarkan enam orang utan (Pongo pygmaeus) ke Hutan Kehje Sewen, Kutai Timur, Senin.
"Hikmah kemerdekaan ini juga berlaku untuk satwa, apalagi orang utan adalah satwa yang dilindungi negara," kata Chief Executive Officer (CEO) BOSF Dr Jamartin Sihite di Balikpapan, Senin (27/8).
Ia mengatakan hingga saat ini sudah ada 97 individu orang utan yang dilepasliarkan BOSF di Kehje Sewen. Orang utan-orang utan tersebut berasal dari 19 kali pelepasliaran sejak 2012. Mereka, sebelumnya menjalani masa bertahun-tahun untuk belajar menjadi orang utan liar di Pusat Reintroduksi di Samboja Lestari, 47 km utara Balikpapan.
Sihite kembali mengulang tentang pentingnya melestarikan orang utan.
Ia menjelaskan bahwa orang utan satwa yang berperan penting dalam ekosistem hutan. Orang utan adalah spesies yang pergerakan dan penjelajahannya ke sudut-sudut hutan membuat keanekaragaman hayati hutan berikut regenerasinya terjaga.
"Mereka penyebar biji dan benih melalui fesesnya. Orang utan juga membuka sedikit kanopi hutan sehingga sinar matahari bisa masuk ke lantai hutan, membantu pohon-pohon kecil tumbuh," katanya.
Pada gilirannya, hutan yang terjaga memberi manfaat dengan menyediakan air dan udara bersih, berbagai hasil hutan, dan menjaga iklim bertukar dengan baik.
Keenam orang utan yang dilepasliarkan kali ini tidak semuanya berasal langsung dari Samboja Lestari, dua di antaranya yaitu betina Menur (11 tahun) dan betina 11 tahun Josta sudah berbulan-bulan tinggal di pulau pra-pelepasliaran Juq Kehje Swen, sebuah kawasan hutan 82,84 hektare yang dikeliling parit lebar dan sungai di tepi perkebunan kelapa sawit PT Nusaraya Agro Sawit di Muara Wahau, Kutai Timur.
Sebanyak empat individu yang lain, adalah empat jantan, yaitu Mads (8 tahun), Riva (7), Biber (7), dan Restu (6).
Dalam beberapa tahun terakhir, BOSF melibatkan banyak pihak dalam upaya pelestarian orang utan, termasuk para pihak yang dahulu dianggap tak ada sangkut paut, seperti perbankan atau bahkan bertentangan dengan upaya pelestarian itu, seperti perkebunan kelapa sawit.
"Ini karena kerja besar konservasi tidak bisa hanya digawangi oleh BKSDA dan BOSF saja. Kami perlu juga melibatkan banyak entitas bisnis yang sebelumnya tidak banyak berperan," kata Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur Sunandar Trigunajasa. (*)