Samarinda (Antaranews Kaltim) - Tanpa terasa sedikitpun, rakyat Indonesia sudah berhadapan dengan tanggal 10 Januari 2018 yang merupakan hari terakhir pendaftaran para peserta pemilihan kepala daerah alias pilkada di 171 daerah, mulai dari provinsi, kota hingga kabupaten.
Ternyata tanpa diduga, sebelumnya, partai politik - partai politik di Tanah Air yang jumlahnya sekitar 10 itu mengalami kesulitan, hambatan atau apa pun juga istilahnya untuk menyusun bakal calon nama gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati serta wali kota serta bakal calon wakil wali kotanya.
Coba lihat saja, misalnya Jawa Timur. Bakal calon gubernur Jatim Saifullah Yusuf yang sudah begitu "lengketnya" dengan bakal calon wakil gubernurnya terpaksa harus "gigit jari" karena calon wakilnya itu, Abdullah Azwar Anas harus mundur atau istilah kerennya terpaksa "mengembalikan mandatnya" kepada partai yang amat mendukungnya hanya gara-gara foto yang "syur" alias "panas" dengan seseorang yang diduga keras adalah seorang wanita.
Kemudian, di Provinsi lainnya yakni Jawa Barat telah muncul banyaknya peminat untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur. Jika mula-mula orang Sunda hanya membayangkan calonnya paling-paling Ridwan Kamil, Dedi Mizwar atau Dedy Mulyadi maka tiba-tiba "pasar" pilkada dimeriahkan oleh dua jenderal meskipun mereka sudah pensiun. Kedua purnawirawan itu adalah Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Tubagus (TB) Hasanuddin dan Mayor Jenderal TNI Purnawirawan Sudradjat.
Sementara itu, pertarungan di Sumatera Utara, sekonyong-konyong muncul nama Letnan Jenderal TNI Edy Rachmayadi yang selama ini dikenal sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) dan juga Panglima Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad) yang merupakan salah satu satuan elit Angkatan Darat.
Banyak orang membayangkan jika Edy Rachmayadi mau "sabar" maka dengan mudah dia bisa menjadi kepala staf TNI-AD karena selama ini mantan-mantan panglima Kostrad banyak yang menjadi komandannya TNI-AD. Namun dengan "dalih" bahwa dia akan pensiun pada tahun 2019, maka Edy mundur dari dinas aktifnya sehingga berusaha meraih posisi gubernur Sumut.
Yang tak kalah menariknya untuk digunjingkan adalah tekad Khofifah Indar Parawansa untuk menjadi pengganti Gubernur Jawa Timur sehingga dia harus "merelakan" kursi empuknya sebagai Menteri sosial.
Pertarungan itu tidak hanya antarcalon, tapi juga antarparpol, karena "amat sedikitnya" jumlah calon peserta pertarungan pilkada terutama pada tingkatan perebutan jabatan gubernur karena mereka haruslah benar-benar tokoh yang dikenal masyarakat setempat, mempunyai rekam jejak yang "bersih" 100 persen sehingga tidak bakal dikejar- kejar Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK karena komisi antirasuah tanpa kenal lelah ataupun tanpa mundur selangkah pun terus memantau bahkan mengejar terduga koruptor seperti yang selama ini amat ditunggu- tunggu masyarakat.
Lihat saja, Setya Novanto yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar bahkan merupakan ketua lembaga negara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berhasil dibekuk walaupun sempat satu kali "sukses" menang dalam sidang praperadilan.
Yang tak kalah pentingnya adalah para calon bupati, wali kota apalagi gubernur itu harus punya "modal dasar" yang kuat sekali yaitu uang berkarung-karung. Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian belum lama ini mengungkapkan untuk pemilihan bupati saja, sang calon harus mampu memiliki uang sekitar Rp30 miliar. Uang itu bisa dari kantongnya sendiri atau juga dari "sponsor- sponsor".
Yang menjadi persoalan kalau terpilih, maka gaji selama lima tahun pasti tidak akan cukup untuk mengembalikan "modal dasar" itu apalagi kalau kalah. Kalau menang dalam pilkada maka pikiran pertamanya adalah bagaimana "mengembalikan modal" itu sambil berusaha "mencari sedikit untung" karena siapa tahu lima tahun mndatang dia tidak bisa ikut pilkada lagi.
Dipenjara
KPK baru-baru ini mengumumkan kasus pada Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan Abdul Latif. Dia menjadi tersangka dalam kasus pembangunan sebuah rumah sakit daerah di sana.
Sebelumnya Bupati Nganjuk, Jawa Timur Taufiqurrahman juga diincar KPK gara-gara uang miliaran rupiah. Dari Jawa Timur, juga ada nama Eddy Rumpoko yang merupakan kepala daerah Batu yang juga tersangkut masalah duit. Bahkan masyarakat pun sudah mendengar nama dua gubernur di Pulau Sumatera yakni di Sumatera Utara dan Bengkulu yang menjadi tersangka kasus duit miliaran rupiah.
Nama- nama itu baru menyangkut gubernur, bupati dan wali kota. Karena mereka ini tentunya bukan "pemain tunggal atau solo", maka tentu mereka pasti melibatkan segelintir anak buahnya mulai dari bendahara hingga pimpinan satuan kerja perangkat daerah alias SKPD. Kenapa kepala SKPD itu terlibat?
Mereka itu adalah pejabat-pejabat di daerah yang ikut menentukan nasib sebuah bahkan belasan pelaksana proyek yang secara otomatis "menentukan" siapa saja pemenang tender- tender itu.
Karena tidak ada yang "gratis" maka para pemenang tender itu harus memberikan uang yang istilah gagahnya adalah "commitment fee" yang biasanya nilainya lima sampai dengan 10 persen dari proyek. Jadi kalau ada proyek misalnya saja Rp300 miliar maka bisa dibayangkan berapa uang yang "diraih" pejabat tak tahu diri itu.
"Kalau DKI Jakarta saja pada tahun 2018 ini nilai APBD-nya saja Rp70 triliun dan Jawa Timur serta Jawa Tengah masing-masing sekitar Rp30 triliun/tahun maka tentu rakyat bisa membayangkan betapa besarnya uang yang diincar para pengusaha. Apalagi kalau APBD-nya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Karena pemilihan kepala daerah nantinya akan berlangsung pada tanggal 27 Juni 2018 maka bisa dibayangkan pilkada pada 171 provinsi, kabupaten hingga kota akan berlangsung sangat sengit. Pemenang berhak "menepuk dada" karena jadi kepala daerah, mendapat anak buah yang ratusan bahkan ribuan orang, serta "disanjung" dari kiri dan kanan.
Yang patut dipertanyakan oleh seluruh rakyat Indonesia terutama para pemilih adalah apakah semua partai politik sudah benar-benar matang dalam menentukan calon kepala daerahnya" Apakah mereka itu punya rekam jejak bagaikan orang yang benar-benar suci tanpa sedikitpun cacat? Apakah para pemimpin daerah ini hanya akan memanfaatkan anak buahnya yang memang benar-benar setia kepada rakyat setempat ataukah akan membawa "gerbong" pembantu yang cuma mau ikut mencari makan?.
Kalau misalnya saja 10 persen dari 171 kepala daerah itu yang bermasalah dalam soal anggaran maka bisa dibayangkan berapa nilai proyeknya. Berapa banyak proyek yang seharusnya benar- benar bisa dinikmati oleh rakyat kecil ternyata uangnya itu "dikantongi" atau diselewengkan.
Haruskah korupsi, penyelewengan, penyalahgunaan uang negara tu terjadi lagi sampai "kiamat"? Para pejabat pasti tidak ingin bahwa diri mereka nantinya akan dikejar-kejar rakyatnya untuk dimintai pertanggungjawaban akibat ulah mereka sendiri.
Karena itu rakyat Indonesia tentu berhak bertanya kepada pimpinan parpol apakah mereka bersedia bertanggung jawab jika anak buahnya yang menjadi kepala daerah korupsi atau berbuat negatif.
Pilkada massal ini tentu bisa memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan rakyat itu. (*)
*) penulis adalah pewarta senior LKBN Antara