Jakarta (ANTARA Kaltim) - Komoditas batu bara telah lama menjadi salah satu sumber energi di banyak negara, namun dalam tataran wacana memang emas hitam itu semakin lama tergusur oleh energi baru dan terbarukan yang lebih banyak dibicarakan saat ini.
Wakil Ketua MPR RI Oesman Sapta Odang dalam sejumlah kesempatan juga menyatakan bahwa batu bara Indonesia seharusnya diproses di dalam negeri hingga ke produk akhir, supaya sumber daya alam nasional itu tidak dikuasai korporasi asing.
Hal tersebut, menurut Oesman, karena batu bara merupakan sumber daya alam (SDA) nasional yang seharusnya digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dewasa ini, katanya, ada keinginan asing untuk menguasai batu bara Indonesia SDA nasional selain emas.
Bila penguasaan itu terjadi, lanjutnya, maka Indonesia bakal kekurangan energi karena banyak pembangkit listrik di berbagai daerah, menggunakan batu bara.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto menyebutkan, batu bara yang berkalori rendah dapat digunakan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan.
Dengan demikian, Airlangga mengatakan bahwa batu bara merupakan kalori rendah yang merupakan potensi Indonesia yang dapat dioptimalkan ke depannya.
Menurut Menperin, sejumlah negara maju, antara lain Jerman, telah mengoptimalkan batu bara untuk industri petrokimia dan pembangkit listrik.
Jerman, kata Airlangga, memiliki industri dengan "power plant" (pembangkit tenaga listrik) dari penggunaan komoditas batu bara.
Berbagai pembangkit tersebut dinilai bisa menghasilkan batu bara dengan kalori terendah dan kapasitas 1,6 giga watt 2x800 MegaWatt.
Seimbangkan
Seimbangkan
Namun, tata kelola batu bara juga diminta sejumlah pihak agar menyeimbangkan antara aspek konservasi atau perlindungan lingkungan dengan segi penerimaan negara terutama dari bidang sumber daya alam.
Misalnya Koordinator Divisi Jaringan ICW Abdullah Dahlan yang menyatakan pentingnya agar tata kelola batu bara dari satu sisi penerimaan negara, tetapi tidak juga dilepaskan dari aspek konservasi lingkungan.
Dalam diskusi bertajuk "Kerugian Negara dari Unreporting Ekspor batu bara Indonesia 2006-2016" di Jakarta, Senin (20/11), Abdullah Dahlan mengingatkan bahwa RI adalah salah satu dari lima negara terbesar dalam penghasil batu bara.
Ia memaparkan, dengan luas tambang 16,2 juta hektare serta produksi 434 juta ton per tahun, tentu bila tidak dikelola dengan baik maka akan berpotensi habis dalam jangka waktu 56-59 tahun mendatang.
Abdullah juga mengungkapkan, adanya temuan yang menarik bahwa ada luasan sekitar 5,6 juta hektare pada tahun 2014 yang ternyata termasuk dalam area kawasan lindung konservasi.
Selain itu, ujar dia, pihaknya juga mensinyalir masih adanya ratusan perusahaan yang masih belum mendapatkan izin yang memadai dalam prosedur pengelolaan batu bara.
Sementara itu, Koordinator Divisi Riset ICW Firdaus Ilyas mengingatkan bahwa sektor sumber daya alam masih menjadi tulang punggung dalam penerimaan pajak.
Firdaus juga mempertanyakan apakah pemerintah masih belum punya cara lain dalam mewujudkan konsep Nawacita sehingga banyak program yang akhirnya bergantung kepada instrumen seperti utang, padahal sumber lain seperti PNBP belum tergarap optimal.
Kerugian Negara
Kerugian Negara
ICW juga menemukan adanya indikasi kerugian negara terkait dengan dugaan ekspor sektor batu bara yang tidak dilaporkan yang tersinyalir dari adanya perbedaan data di dalam negeri dari sejumlah instansi terkait.
Menurut Firdaus Ilyas, indikasi tidak dilaporkannya ekspor batu bara itu berdampak kepada indikasi kerugian negara baik dari kewajiban perusahaan batu bara untuk pajak penghasilan, maupun royalti hingga sebesar Rp133,6 triliun.
Dia berpendapat bahwa indikasi tidak dilaporkannya transaksi batu bara itu juga dapat timbul dari adanya satu persoalan mendasar, yaitu dari sisi administratif negara adanya celah besar pendataan produksi batu bara antara kementerian teknis dengan kementerian atau lembaga lainnya.
Firdaus mencontohkan, adanya perbedaan data penjualan batu bara antara institusi seperti Kementerian Perdagangan, BPS, dan Kementerian ESDM, di mana dalam periode 2006-2016, terdapat perbedaan hingga sekitar 520 juta ton.
Hal tersebut, lanjutnya, menjadi "loophole" atau lubang sehingga sangat berimplikasi terhadap potensi penerimaan negara.
Berdasarkan data ICW, transaksi ekspor batu bara yang tidak dilaporkan pada periode 2006-2016 disinyalir yang terbesar ke China dengan nilai sekitar 5,31 miliar dolar AS, kemudian ke Jepang (3,80 miliar dolar) dan Korea Selatan (2,66 miliar dolar).
Firdaus mengingatkan bahwa indikasi kerugian negara sebesar Rp133,6 triliun itu sangat signifikan digunakan untuk infrastruktur seperti tol dan pelabuhan, juga untuk anggaran kesehatan hingga pendidikan.
Ia juga meminta aparat penegak hukum khususnya KPK untuk melanjutkan koordinasi dan supervisi sumber daya alam dengan menitikberatkan pada sisi penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara.
Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Dirjen Pajak Yuli Kristiono menyatakan, isu ini bukanlah hal yang baru dan sedang diaudit karena pihaknya juga membutuhkan dukungan data dari berbagai instansi terkait lainnya.
Yuli Kristiono mengemukakan, pihaknya sudah turun ke sejumlah provinsi dalam rangka memberikan sosialisasi kepatuhan pengusaha pertambangan dan setelah sosialisasi ada peningkaan penerimaan negara dalam sektor batu bara.
Siap dominasi
Siap dominasi
Sejumlah perusahaan seperti PT Borneo Pasifik Global (BPG) yang mendapatkan kepercayaan mewakili Indonesia pada pameran pertambangan batu bara atau "China Coal and Mining Expo (CCME)" di Beijing beberapa waktu lalu, juga menyatakan siap mendominasi pasar China.
CEO BPG, Rendy Halim, dalam siaran pers mengingatkan bahwa China membutuhkan pasokan energi yang besar untuk mengimbangi pesatnya pertumbuhan sektor industri mereka, sehingga negeri Tirai Bambu itu membuka peluang lebih besar bagi pelaku usaha batu bara Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor ke China.
Sebagaimana diketahui, CCME adalah pameran pertambangan batu bara terbesar di China yang diadakan setiap dua tahun sekali. Pada tahun ini, CCME mengambil tema yaitu "Intelligent Manufacturing, Leading the Future".
Pada tahun 2017 ini, CCME diikuti hampir 400 perusahaan dari 18 negara, termasuk Amerika Serikat, Rusia, dan Jerman. CCME menjadi ajang untuk meningkatkan hubungan baik antara China dan Indonesia, khususnya dalam bidang perdagangan.
Calon pembeli dan investor dari China mendapatkan penjelasan terkait fluktuasi harga batu bara hingga jaminan transparansi dalam proses penambangan dan pengiriman komoditas tersebut.
Head of Sales PT BPG David Tjie mengatakan, hal ini berguna untuk meningkatkan keyakinan bahwa bisnis antara China dengan Indonesia itu sangat aman dan prospektif.
"Respons market amat baik. Mereka terlihat antusias untuk memahami lebih jauh perdagangan batu bara di Indonesia. Melalui pameran ini kami ingin membuat hubungan perdagangan batu bara antara Indonesia dan China menjadi lebih baik lagi di segala aspek," kata David Tjie.
Pada tahun ini, lanjutnya, ekspor batu bara dari Indonesia ke China telah menghasilkan devisa senilai 1,68 miliar dolar AS atau meningkat dibandingkan tahun lalu yang hanya 1,03 miliar dolar AS.
Mengoptimalkan batu bara sebagai sumber daya dan penerimaan negara memang merupakan hal yang penting, tetapi juga jangan sampai dilupakan aspek konservasi lingkungannya. (*)