Mekkah (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia mengupayakan revisi penetapan kuota haji oleh Pemerintah Arab Saudi agar kebijakan proporsionalitas diimbangi dengan kebijakan pengalihan kuota dari negara-negara yang kuotanya tidak terserap secara maksimal.
Hal itu disampaikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, sata mendarat di Jeddah, Arab Saudi, Sabtu malam, guna mengawali tugasnya sebagai Amirul Hajj (pemimpin jamaah haji) Indonesia.
"Proporsionalitas diimbangi dengan adanya (kebijakan bahwa) negara yang tidak terserap secara maksimal bisa dialihkan ke negara yang antriannya sangat panjang," katanya.
Ia berharap Arab Saudi dan negara pengirim jamaah bisa menyepakati hal ini sehingga kuota Indonesia bisa bertambah.
Selama ini penetapan kuota haji didasarkan pada prinsip proporsionalitas yaitu ketentuan satu per mil dari total populasi umat muslim setiap negara.
"Kenyataanya, ternyata tidak relevan lagi pendekatan seperti itu karena ada sejumlah negara yang tidak maksimal menyerap kuota yang dimilikinya sementara ada negara lain yang antriannya begitu panjang karena kuota yang ada tidak sebanding dengan animo masyarakat yang ingin berhaji," ujarnya.
Indonesia dalam beberapa tahun terakhir akibat dari proyek perluasan di Masjidil Haram hanya memperoleh kuota 168.800 jamaah per tahun, yang kemudian dibagi menjadi 155.200 jamaah reguler dan 13.600 jamaah haji khusus.
Akibatnya antrian berhaji di sejumlah daerah di Indonesia dapat mencapai lebih dari 20 tahun. Hal itu berimbas pada makin besarnya persentase jamaah usia lanjut dari Indonesia yang tentunya berdampak pada kesehatan jamaah.
Lebih lanjut Menag menyoroti evaluasi pelaksanaan haji hingga menjelang hari terakhir pemberangkatan jamaah haji dari tanah air.
Ia menilai secara keseluruhan tidak ada kendala mendasar. "Hanya terkait visa. Itupun bukan karena keterlambatan, tapi lebih karena adanya koordinasi dan komunikasi yang perlu dibangun lagi di masa mendatang sehingga tidak ada lagi jamaah yang seharusnya berangkat gelombang kedua memaksakan diri berangkat gelombang pertama," katanya.
Perubahan itu, tambah dia, akan merusak konfigurasi atau formasi jamaah yang sejak awal sudah terformat dalam kelompok terbang.
"Kita ingin lebih meningkatkan komunikasi dengan sejumlah KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji) dan petugas di lapangan supaya lebih tegas dan konsisten dalam menjalani ketentuan," ujarnya.
Ia mengatakan bahwa akan dibuat regulasi yang melarang perubahan kloter. (*)