Balikpapan (ANTARA) - Siap atau tidak, masyarakat adat Tikas Telake sudah berada dalam arus perubahan.
Dalam setengah abad terakhir, bentang alam berubah baik secara perlahan maupun ekstrem. Perubahan itu membawa konsekuensi: orang-orang yang hidup di tepi Sungai Telake, Long Kali, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, sekitar 70 km selatan Balikpapan, harus ikut berubah bila ingin bertahan dan tidak tergerus zaman.
Banjir menjadi penanda paling nyata dari perubahan itu. Dalam dua dekade terakhir, banjir besar datang makin sering, menggenangi kampung Bente Tualan, Mendik, dan Muara Toyu.
Pada tahun 2023, air naik hingga satu meter dari bibir Sungai Telake, merendam sekitar 40 rumah di dataran rendah. Luasan hamparan air diperkirakan mencapai 300 hektare.
Kini, banjir terjadi dua kali dalam setahun, terutama saat musim hujan. Warga bahkan ada yang terpaksa bertahan dengan membuat panggung darurat di dalam rumah. Ada juga yang mengungsi.
“Inilah tanda irama alam telah rusak,” kata tetua Tikas Telake, Abdul Gaya.
Dahulu, masyarakat adat Tikas Telake Bente Tualan memiliki cara sendiri untuk membaca musim. Mereka mengenal bintong tolu—tiga bintang yang muncul di langit malam sebagai pertanda musim penghujan, dan bintong tujuh—gugusan tujuh bintang yang menandai datangnya musim panas.
Gugusan ini diyakini merujuk pada pola langit seperti Sabuk Orion dan Pleiades, yang dalam banyak tradisi lokal menjadi penanda waktu tanam, saatnya panen, hingga persiapan menghadapi banjir karena musim hujan sudah di ambang pintu.
Namun kini, kata Gaya, tanda-tanda itu tak lagi bisa diandalkan. Pohon durian yang biasanya berbuah saat kemarau, sering gagal berbuah karena musim yang tak menentu.
Banjir datang begitu saja, kemarau tak lagi bisa dikira. Dulu masyarakat adat bisa lihat musim dari bintang. Sekarang, bintang pun bungkam. Pengetahuan yang dulu menjadi panduan hidup kini justru kehilangan arah.
Bagi komunitas Tikas, perubahan iklim bukan sekadar perubahan cuaca. Perubahan ini mengganggu, kalau tidak disebut merusak ritme kehidupan orang Tikas.
Menurut Gaya, perubahan iklim telah membungkam tanda dan memutus hubungan antara manusia dan alam, relasi yang selama ini dijaga lewat adat.
Orang Tikas percaya, alih fungsi hutan di sekitar Telake yang menjadi pengganggu langsung irama alam dan kehidupan mereka sehari-hari. Banjir dari luapan Sungai Telake terjadi karena air hujan, apalagi di musimnya, kini langsung terjun ke badan sungai ketimbang diserap tanah dan hutan.
Juliana, perempuan adat dari komunitas Tikas, menuturkan bahwa kebun-kebun warga kini sering diserbu monyet.
“Monyet-monyet itu cari makan ke kebun karena sudah tidak ada lagi hutan, berganti dengan kebun sawit,” kata Juliana.
Di Long Kali, setidaknya ada tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit: Ketiganya memiliki izin dan operasi di sekitar Desa Bente Tualan, Mendik, dan Muara Toyu.
Perusahaan tersebut ada yang tercatat sebagai anggota RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) dan memiliki luas areal perkebunan lebih dari 33.000 hektare. Ada juga perusahaan yang memiliki sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan mengelola kebun serta pabrik kelapa sawit lebih dari 11.000 hektare.
Kebun-kebun perusahaan membentang menggantikan hutan yang dulu menjadi habitat satwa dan pelindung aliran sungai. Kini, lumpur masuk langsung ke Sungai Telake dan membuat air jernih menjadi keruh. Sungai menjadi dangkal dan semakin susah digunakan sebagai sarana transportasi.
“Sungai ini dulu tenang dan bersih. Sekarang marah,” kata Tora, perempuan adat pemandu ritual.
Sebab itu, ritual adat pun ikut terganggu. Tora menyebut bahwa waktu pelaksanaan mangkas, ritual pembersihan kampung, tak lagi bisa ditentukan lewat tanda alam.
“Dulu kami tahu kapan harus mulai dari suara burung dan arah angin. Sekarang semua kacau,” ujarnya.
Bagi para tetua seperti Gaya, hilangnya tanda-tanda bukan hanya soal teknis seperti tata cara bercocok tanam, tapi juga soal spiritual. Mereka percaya bahwa alam sedang bicara, tapi manusia tak lagi bisa mendengar.
