Balikpapan (ANTARA) - Saya lupa nama teman ini. Periksa catatan, juga tidak ketemu namanya. Apalagi cari di buku telepon di HP.
Kalau ada, namanya akan tertulis lengkap dengan alasan kenapa namanya ditulis dan disimpan di phonebook itu. Seperti ini, misalnya, “Leo bukan Messi sopir travel”.
Barangkali karena kami dulu bertemu di tempat yang jauh. Ke kota terdekat saja, dari Long Alango, di Kecamatan Bahau Hulu, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara), paling cepat antara tujuh sampai delapan jam bila naik speedboat yang pakai empat mesin.
Sebaliknya, dari Tanjung Selor ke Long Alango tidak cukup tujuh atau delapan jam. Bisa 28–30 jam, sebab harus melawan arus dan mengakali jeram besar.
Namun, meski jauh di jantung Pulau Kalimantan di hulu Sungai Bahau itu, teman ini orang Jawa, dan di kampung itu dia dipanggil akrab, ‘Mas’.
Nah, prajurit penjaga perbatasan barangkali?
Oh bukan. Sebab dia sudah menetap di Long Alango bahkan sebelum prajurit yang jaga perbatasan sekarang diterima masuk tentara.
Si mas ini terdampar di Long Alango, kata para tetuha, sebab perusahaan penebangan kayu tempatnya bekerja dahulu sudah tutup. Dan dia sendiri ogah pulang ke kampung di seberang sana itu.
“Pertama tak cukup ongkos. Kedua, di kampung di Jawa juga tidak ada lagi keluarga. Bapak dan Ibu sudah lama berpulang. Keluarga lain sudah ke mana-mana merantau. Ketiga, saya betah di sini. Meski tidak kaya, saya punya semuanya.”
Saya juga lupa ceritanya itu, di mana kampungnya di Jawa. Saya lupa bertanya, apakah dia berkeluarga, punya istri atau anak, atau punya istri dan anak, di Long Alango.
Mungkin dia memang punya. Itulah antara lain yang bikin lelaki bertahan di satu tempat, bukan? Apalagi dia bilang dia punya semuanya, ya kan.
Kami ngobrol dengannya karena butuh pertolongan si Mas untuk menghidupkan tower—menyalakan genset menara Telkomsel yang ada di tengah kampung, di tepi lapangan di belakang Balai Pertemuan.
Si Mas adalah penjaga tower itu, pemegang kunci ruang genset, sekaligus teknisi gensetnya.
“Aaamannn. Mau dinyalakan jam berapa?” ujarnya seraya tersenyum lebar.
“Sekitar jam delapan nanti malam ya, Mas,” kata Ela, teman saya.
Buat anak zaman now yang tinggal di kota, tentu sinyal jadi kebutuhan primer, tapi ini situasinya di kampung, Bung.
Permintaan seperti itu lazim di Long Alango, sebab tahun itu, di Long Alango, sinyal Telkomsel tidak beroperasi 24 jam seperti di kota.
Tower hanya aktif setengah hari karena minyak solar untuk genset harus dihemat. Jatah anggaran bahan bakar dari kabupaten harus dipas-paskan biar cukup setahun.
Jadi daripada berbulan-bulan tanpa sinyal karena dana BBM habis, lebih baik berhemat.
Bahkan tidak hanya di Long Alango, tapi nyaris di semua kampung perbatasan yang jauh dan terpencil. Bahkan tak terkecuali di Maratua, daerah wisata yang keren itu.
Karena jumlah penduduk kecil, bisnis sinyal di kampung jelas tidak menguntungkan. Di Long Alango sekarang saja, hanya ada sekitar 573 jiwa, tersebar di 162 keluarga. Padahal Alango juga ibukota Kecamatan Bahau Hulu.
Apalagi kampung yang terisolasi dan jauh dari pemukiman lain. Biaya investasi bisa 3–5 kali lipat dibandingkan di kota. Bisnis telekomunikasi memang padat modal dan teknologi. Kalau konsumennya kecil, buat apa?
Ya buat keadilanlah, kata Presiden Jokowi saat itu. Karena Alango, Long Apari, atau Nanga Badau itu juga Indonesia.
Biaya yang berlipat-lipat itu ditanggung bersama. Yang bangun tower: prajurit zeni, dengan dana dari Pemprov Kalimantan Utara. Yang belikan genset dan atur anggaran BBM: Pemkab Malinau.
Telkomsel tinggal menyediakan sinyal dan teknologi. Bagi Telkomsel, ini proyek PSO—Public Service Obligation, kewajiban negara yang dipikul oleh perusahaan.
Setelah itu, improvisasilah. Soal minyak solar untuk genset itu salah satunya. Salah dua atau tiga, misalnya kata si mas, dia kadang sengaja mematikan sinyal di jam operasional karena semua orang sedang di ladang atau berburu.
Atau dia menawar, “Bisa, asal jangan lama-lama. BBM tinggal dua jeriken,” pada permintaan seperti yang kami sampaikan itu. Kadang dia bilang, “Nanti jam sembilan saja, biar sekalian sama warga yang mau video call.”
O iya, tower itu sudah berkemampuan 3G. Jadi sudah bisa melayani pengiriman data dengan relatif cepat. Tersendat-sendat sedikit tak apalah. Namanya juga jauh.
Warga yang minta sinyal di luar jam operasional, meski tidak tertulis hitam di atas putih, haruslah memberi kompensasi. Dari situ, istilah “uang solar” itu jelas dan literal, apa adanya sesuai kenyataannya.
Pun sebenarnya di Long Alango ada pembangkit listrik tenaga air dari sungai kecil di atas bukit di hutan pinggir kampung.
Tapi listrik dari PLTA Mikro Hidro ini tidak cukup untuk melistriki tower, hanya cukup untuk rumah-rumah warga dan beberapa peralatan elektronik.
“Susah sinyal, tapi kamu betah, mas?” tanya saya.
“Loh, susah dan mudah sinyal itu kan tergantung saya, hahaha...” ujarnya tertawa. “Kalau saya hidupkan genset, ya sinyal beres.”
Tentu, dia bercanda juga, dengan percaya diri dan juga getir. Sebab banyak sekali yang ada di luar kekuasaannya, bahkan soal genset yang jadi tanggungjawabnya itu.
“Ya semoga gensetnya awet. Olinya cukup, minyaknya cukup,” sambungnya.
Lebih-lebih lagi, betah atau tidak betah, tidak melulu tergantung kelancaran sinyal. Meskipun di zaman now ini.
Sekali lagi saya mengutuk diri, kok bisa lupa tanya (atau sebenarnya lupa jawaban dia kali ya), apakah dia punya istri dan anak, atau istri atau anak tadi.
Ah, tak apalah. Bau telur dadar dari dapur rumah Yoseph tempat kami menginap sudah membuat perut berkeruyuk. Segera makan dan segera kerjakan laporan, biar bisa segera dikirim pukul delapan.
