Bontang, Kaltim (ANTARA) - Di tengah tantangan polusi plastik yang kian meresahkan, seorang guru SDN 003 Bontang Utara di Kota Bontang, Kalimantan Timur, membuktikan bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang kelas.
Dialah Siti Mahmudah, guru kelas 5 SDN 003 Bontang Utara, yang telah mengabdi sejak 2005 dan menjadi pionir pendidikan lingkungan hidup di sekolah dasar.
Lewat pendekatan kreatif dan penuh semangat, Siti membuka wawasan siswa tentang polusi plastik dan mengajarkan cara mengelola menjadi sesuatu yang bermanfaat, yaitu ecobrick.
Semua berawal dari diskusi interaktif di kelas tentang dampak buruk sampah plastik terhadap alam. Guru Siti mengajak murid-muridnya melihat sampah bukan sebagai masalah, tetapi peluang untuk berinovasi.
Mereka kemudian mulai mengumpulkan plastik bekas makanan, bungkus jajanan, dan sedotan untuk diolah menjadi ecobrick.
Ecobrik adalah botol plastik yang diisi padat dengan limbah plastik bersih yang dapat digunakan sebagai bahan bangunan alternatif.
Dari botol-botol tersebut kemudian lahir kursi kecil, meja, bahkan bangku panjang buatan siswanya sendiri.
“Anak-anak jadi lebih bangga ketika tahu mereka bisa menciptakan sesuatu yang berguna dari sampah yang tadinya hanya dibuang,” ujar Siti.
Tak berhenti di situ, berkat proyek ini, siswa SDN 003 Bontang Utara tidak hanya paham akan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle), tetapi juga mulai menerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka membawa pouch sampah kecil yang digantung di tas untuk menampung sampah pribadi, sebelum dibuang ke tempat yang tepat, sebuah kebiasaan kecil yang punya dampak besar.
Tak hanya sebagai proyek sekolah, ecobrick kini telah menjelma menjadi karya bermakna sekaligus gaya hidup berkelanjutan pada siswa.
Inisiatif ini tidak dilakukan sendiri. Siti kemudian menggandeng kader Adiwiyata dan alumni sekolah untuk memberikan pelatihan pengolahan sampah dan pembuatan ecobrick.
Selain menciptakan keterampilan praktis, inisiatif ini juga mempererat kerja sama antar siswa dan komunitas sekolah.
Pelajaran menyatu dengan kehidupan
Pendekatan guru Siti dalam mengajar nilai keberlanjutan tidak berhenti sebatas teori. Konsep ecobrick ini terintegrasi dalam mata pelajaran IPA, yakni siswa belajar tentang daur ulang dan langsung mempraktikkan.
Proyek ini juga menjadi bagian dari Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dengan tema Gaya Hidup Berkelanjutan.
“Saat praktik berlangsung, anak-anak lebih antusias. Mereka belajar bukan hanya dengan kepala, tapi juga dengan hati dan tangan,” kata Siti.
Hasilnya kemudian bukan cuma kesadaran, tapi juga kreativitas para siswa yang terus meningkat.
Mendorong perubahan dari bangku sekolah
Mengubah kebiasaan memang tidak mudah, tapi kemajuan perlahan mulai terlihat. Siswa kini lebih tertib dalam membuang sampah, aktif mengumpulkan limbah plastik, dan bangga menampilkan karya ecobrick mereka di sekolah.
Inisiatif guru Siti seolah menjadi angin segar di tengah tantangan lingkungan yang dihadapi di Kalimantan Timur. Ia menunjukkan bahwa pendidikan lingkungan tidak harus mahal atau rumit, cukup dimulai dari kepedulian dan kreativitas.
Dalam memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni lalu, kisah guru Siti dan siswa-siswa SDN 003 Bontang Utara ini menjadi pengingat bahwa pendidikan bisa menjadi alat perubahan yang kuat.
Dari ruang kelas sederhana di Bontang, tumbuh benih generasi baru yang mencintai dan menjaga bumi untuk kemaslahatan alam.
Mari belajar dari semangat mereka, bahwa menjaga lingkungan bukan tugas segelintir orang, tapi tanggung jawab bersama. Kalau anak-anak SDN 003 Bontang Utara saja bisa, tentu kita juga pasti bisa. (Tanoto Foundation)