Kota Balikpapan (ANTARA) - Apa dampaknya kalau anda terlalu bagus di satu bidang? Alfian, Asmat, Arman, dan Tri tersenyum dan saling memandang. Asmat kemudian menatap deretan ecobrick, botol-botol plastik bekas kemasan air minum yang disusun rapat menjadi dinding lantai dua rumah kreatif dan bengkel kerja Bank Sampah RT 38 Kelurahan Baru Tengah, Balikpapan Barat itu. Semilir angin laut masuk dari dua jendela besar di atas kepala Alfian.
“Kami dilarang ikut kemudian,” tutur Alfian, Direktur Bank Sampah sekaligus juru bicara program Pengelolaan Lingkungan Terpadu (Pelita) Borneo (RT) 38.
Alasan pelarangan itu, konon untuk pemerataan kesempatan. Sebab, bila RT 38 tetap ikut seperti sudah dilakoni dalam tiga tahun terakhir di masa itu, maka tak akan dapat kesempatan RT-RT lain di Kota Minyak. Tidak akan pernah mereka merasakan juara lomba kebersihan dan ketertiban lingkungan ala Clean, Green, and Healthy (GCH) ala Pemkot Balikpapan yang bekerja sama dengan sebuah grup media kala itu.
Nama lomba kebersihan itu memang Lomba CGH (Clean, Green, Healthy). Konon mengacu kepada singkatan serupa yang digunakan Singapura dalam program Clean Green Singapore. Ada juga teman di grup media itu yang berseloroh bahwa CGH adalah singkatan dari Calon Gubernur Harapan, mengacu kepada mendiang pemrednya yang berniat mencalonkan diri menjadi Gubernur Kaltim di tahun 2009 tersebut.
Fakta bahwa menurut tata Bahasa Inggris mestinya Green Clean and Healthy (GCH) tidak dianggap. Keharusan warna harus yang pertama disebut, baru kata sifat, bisa diabaikan. Singapura saja yang warganya lebih fasih berbahasa Inggris dan lebih paham tata bahasanya bisa tidak peduli. Apalagi Indonesia yang dulu penjajahnya Belanda dan cenderung menggampangkan banyak hal.
Di sisi lain, dalam terma lingkungan, CGH memang lebih populer. Singkatan ini juga resmi digunakan Kementerian Lingkungan Hidup. Dijelaskan oleh Alfian, “Sebab memang kebersihan yang utama, dari bersih ini kita bisa menciptakan lingkungan sehat sambil berusaha menanam pohon membuat penghijauan,” ujarnya.
“Apalagi di kota, asal gang sudah tak ada sampah, enak sudah dilihat. Gang ada pohonnya di halaman-halaman rumah, atau di kawasan ruang terbuka, itu luar biasa sekali.”
Itulah resep RT 38 memenangkan tiga kali berturut-turut lomba CGH, 2009-2011, hingga mereka dilarang ikut hingga tahun ini, 2024. Jalan utama lingkungan itu, Jalan Bukit Pelajar, yang melingkar naik ke atas Bukit Pelajar hingga turunannya, memang bersih. Tidak terlihat ada sampah apa pun di jalan. Sekedar sedotan plastik pun tak ada.
Seandainya rumah-rumah di sini tidak rapat dan dari atas bukitnya tidak terlihat laut, sudah pasti dikira Balikpapan Baru, kawasan pemukiman yang dibangun Sinar Mas Wisesa untuk elite Kota Minyak.
“Entah kapan nanti larangan ikut dicabut, padahal hadiahnya sekarang sudah naik 10 kali lipat,” kata Asmat. Dulu, hadiah juara CGH hanya Rp3 juta plus berbagai perlengkapan kebersihan dan prioritas usulan dikabulkan di musyawarah perencanaan pembangunan. Sekarang hadiah naik hingga Rp30 juta dan berbagai fasilitas.
TAK IKUT TAK KECEWA
Tapi warga RT 38 dan para pentolan kebersihan seperti Alfian dan kawan-kawan tidak punya waktu untuk kecewa. Predikat mereka sebagai juara tiga kali berturut-turut itu membawa kepercayaan banyak pihak untuk bekerja sama mengurusi sampah.
Bukan kebetulan sebelum lomba CGH, ada program percontohan bank sampah dari Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Balikpapan sendiri. RT 38 tanpa ragu-ragu pun mengajukan diri.
“Dulu gak jadi uang saja warga sudah senang, apalagi bisa jadi uang,” kata Tri, yang memimpin kaum ibu dalam hal mengurus sampah.
Setiap sampah yang dibawa ke bank sampah ditimbang untuk tahu beratnya. Berat sampahnya kemudian dikali harga satuannya, dan dapatlah nilai rupiahnya. Tentu saja, sebelumnya sampah-sampah itu dipilah-pilah. Ada sampah kering, ada sampah basah. Sampah kering ada botol plastik bekas air minum dalam kemasan, ada kardus, ada macam-macam. Plastik bekas bungkus, juga sedotan plastik, yang tidak laku di pengepul barang daur ulang, juga diterima Bank Sampah RT 38.
“Ini juga rahasia kami juara kemarin itu, kami terima juga sampah yang gak dihargai itu,” kata Alfian. Karena bank sampah mau terima, warga pun berlaku bak pasukan semut, menyisir hingga pojok-pojok halaman yang bahkan tidak dilirik juri CGH.
Anak-anak juga diajari untuk tidak membuang sampah, tapi diminta mengumpulkannya. Walhasil, ada anak yang bawa pulang sampah dari jajanannya di sekolah.
Itu membuat ide kerjasama Bank Sampah dengan instansi dan bisnis. Kantor Kelurahan Baru Tengah, beberapa sekolah, dan Balikpapan Super Block, menyerahkan sampahnya ke Bank Sampah RT 38.
Di Pelita Borneo, sampah plastik yang tak dihitung itu dipotong-potong, diracik kecil-kecil. Antara lain dijadikan isian bantal sofa, isian bantal penyandang leher di perjalanan, dan diisikan padat ke botol bekas air minum dalam kemasan untuk jadi ecobrick. Bantal isian plastik racikan itu tak kalah empuk dengan isian spons atau kapuk, hanya lebih berat.
“Jadi tidak dianjurkan perang bantal dengan bantal isian plastik ini,” kata Tri tertawa.
Ada pun sampah basah berupa sisa sayuran, buah, dan semacamnya juga ditampung bank sampah untuk dijadikan ecoenzym. Menurut Alfina, ecoenzym juga menjadi satu pemasukan bagi Bank Sampah. Di marketplace online, seliter bisa Rp35 ribu.
Ecoenzym bisa buat pupuk, bisa jadi semacam deterjen untuk bersih-bersih, atau bisa jadi pestisida organik.
Tentang uang yang didapat warga dari sampah yang dijualnya ke bank sampah, menurut Tri, sebagian besar menjadikannya tabungan.
“Baru diambil bila anaknya butuh keperluan sekolah seperti pas tahun ajaran baru, lebaran, atau ada diskon besar cuci gudang akhir tahun,” ungkapnya.
Dengan aktivitas begitu rupa, dan nasib Kelurahan Baru Tengah dan RT 38 masuk dalam lingkar (ring) satu Pertamina, maka Pelita Borneo pun dilirik jadi mitra program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI).
Menurut catatan Alfian, pada awal program, Pertamina membantu mewujudkan apa yang mereka sebut rumah kreatif, sebuah bangunan semipermanen di lahan yang disumbangkan warga. Rumah kreatif terdiri dari dua lantai, lantai dua sebagai aula kecil tempat berkumpul, rapat, diskusi, menerima tamu; dan lantai satu untuk mesin pencacah plastik dan gudang peralatan.
Total bantuan awal di tahun 2022 ini mencapai nilai Rp65 juta.
“Berakhir sudah era gunting untuk memotong bekas bungkus plastik,” kata Asmat tertawa. “Dulu ya sampai pegal tangan menggunting sampah ini.”
“Juga tidak ada lagi yang mikir hadiah lomba CGH,” timpal Arman yang paling pendiam dari Triple A Alfian Asmat dan Arman ini.
Walaupun mesin pencacah Pelita Borneo tergolong kecil, tapi kapasitasnya bisa 100 kg cacahan per jam. Kata Asmat, itu membuat mereka kadang kehabisan sampah buah dicacah.
Dan Pertamina tidak hanya sampai di situ. Tahun 2024 ini, sedang disiapkan program dengan total nilai Rp90 juta dengan sasaran seluruh Kelurahan Baru Tengah dengan pelaksana Pelita Borneo.
“Dari bukit sini sampai ke laut sana, melibatkan warga Kampung Atas Air juga,” kata Alfian. Sama seperti tetangganya seluruh Kelurahan Baru, yaitu Baru Ilir, Baru Ulu, dan Baru Ujung, Kelurahan Baru Tengah memang membentang dari perbukitan hingga pantai Teluk Balikpapan. Penduduknya adalah keturunan pemukim-pemukim pertama Kota Minyak.
Program baru ini selain berisi penyuluhan pemilahan sampah, menguatkan bank sampah, juga tambah kegiatan dengan pengumpulan minyak jelantah.
“Tugas kami jadi makin menantang,” kata Alfian. Jadi, ujarnya, tak apa-apa tak boleh ikut lomba CGH, asal nanti RT-RT Baru Tengah lain yang diajari atau belajar ke RT 38 bisa sukses menciptakan lingkungan bersih dan sehat, dan kalau bisa hijau juga.
“Kalau mereka bisa juara CGH, wah, alhamdulillah banget. Baru membayangkan saja sudah senang,” kata Alfian semringah.
Tantangan dari bukit sampai ke laut
Oleh Novi Abdi Kamis, 31 Oktober 2024 19:45 WIB