PETANI lokal di Provinsi Kalimantan Timur hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan beras setempat sehingga harus mendatangkan beras dari Kalimantan Selatan, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.
Beras yang didatangkan dari luar daerah untuk dikonsumsi warga Kaltim sekitar 14 persen dari total kebutuhan warga, sedangkan selebihnya yang 86 persen sudah mampu dicukupi oleh petani lokal.
Produksi padi Kaltim hingga akhir 2013 diperkirakan mencapai 566.973 ton gabah kering giling (GKG). Ini berarti terjadi kenaikan 5.014 ton GKG atau 0,89 persen ketimbang produksi padi 2012 yang sebanyak 561.959 ton GKG, tetapi kenaikan itu masih juga belum mampu mencukupi kebutuhan warga setempat.
Gubernur Katim Awang Faroek Ishak optimistis bahwa pada tahun-tahun mendatang daerah itu mampu mencapai swasembada beras bahkan surplus, seiring berbagai langkah yang ditempuh untuk mengarah ke pencapaiannya.
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencapai swasembada, di antaranya dengan optimalisasi lahan dan menambah anggaran pertanian demi memenuhi kebutuhan petani, seperti terus meningkatkan kualitas panen, meningkatkan produksi dan produktivitas beras.
"Membangun pertanian dalam arti luas memang memerlukan pendanaan besar, untuk itu saya ingin agar anggaran pertanian bisa mencapai minimal 10 persen dari total APBD Kaltim, ditambah dengan APBD di masing-masing kabupaten maupun kota," ujar Awang Faroek.
Dia juga mengatakan kemandirian atau ketahanan pangan yang telah dicanangkan di Kaltim harus diwujudkan secara nyata demi pengembangan pertanian dalam arti luas, baik mengenai pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan, maupun peternakan.
Dukungan alokasi anggaran 10 persen tersebut bertujuan agar petani dapat lebih maju dan mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi lebih cepat.
Pekerjaan yang dilakukan dari anggaran yang dinaikkan itu digunakan antara lain untuk pendampingan dan pemberian bantuan berupa peralatan permesinan pertanian, bantuan bibit unggul, pupuk, dan lainnya.
Menurut gubernur, lahan pertanian tidak boleh berkurang dan harus bertambah karena masih banyak lahan yang belum dikelola secara maksimal, dia ingin segala bentuk usaha yang diupayakan baik itu peningkatan produksi maupun luas tanam akan dibantu optimal.
Untuk mencapai peningkatan ekonomi dan kesejahteraan bagi petani, hal yang juga penting adalah tidak boleh berkurangnya lahan pertanian sebagai sarana usaha yang berkelanjutan. Apabila lahan pertanian berkurang, maka produksi padi pasti akan menurun.
Untuk itu, lahan pertanian harus bertambah baik melalui pencetakan sawah maupun pembukaan lahan-lahan pertanian baru. Upaya ini untuk melindungi lahan pertanian milik petani yang terus menurun akibat bujukan harga jual lahan yang tinggi untuk kebutuhan non pertanian, terutama batu bara.
Pemerintah pusat telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Berkelanjutan. Begitupun di Kaltim, telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Berkelanjutan.
Keberadaan Perda tersebut diharapkan tidak ada lagi konversi lahan pertanian potensial ke sektor lain seperti pertambangan, perkebunan, dan pemukiman karena untuk mencetak sawah baru memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Fakta yang terjadi, hingga kini masih ada petani yang menjual lahan pertanian potensial mereka yang dijual karena iming-iming harga yang tinggi dari perusahaan tambang batu bara, ada pula yang menjual sawah mereka karena ada pengusaha yang akan membangun perumahan.
Di sisi lain, ada pula petani yang menanam kelapa sawit di tegalan lahan pertanian.
Menurut Gubernur, siapapun memang tidak dapat melarang petani menanam kelapa sawit, tetapi tugas pemerintah melalui instansi terkait yang harus memberikan pengertian, bahwa sawit yang benar adalah ditanam di lahan kering, bukan di lahan basah yang lebih cocok untuk ditanami padi.
Penyuluh harus memberikan pengertian bahwa kelapa sawit tidak tepat jika ditanam di lahan pertanian, tetapi kelapa sawit adalah tanaman jenis perkebunan sehingga lebih cocok ditanam di kawasan yang berbukit dan berlahan kering.
Ancaman Krisis Pangan
Dalam menghadapi alih fungsi lahan pertanian yang terus tergerus oleh sektor pertambangann dan dan sektor lain, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kaltim kini sedang mengumpulkan dan mengolah data lahan pertanian potensial yang dimiliki oleh petani dan kelompok tani.
Hal ini perlu dilakukan agar lahan pertanian tanaman pangan tidak terus menipis. Apabila lahan pertanian menipis dan produksi pangan terus menurun, maka ancaman krisis pangan yang dikhawatirkan dunia bakal benar-benar terjadi di tahun-tahun mendatang.
"Kami akan memetakan lahan pertanian potensial di seluruh kabupaten dan kota dengan data yang akurat, bahkan data tersebut harus terus diperbarui lengkap dengan daftar nama dan alamat petani supaya kami lebih mudah menjalankan program untuk petani," ucap H Ibrahim, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Kaltim.
Dengan data yang lengkap dan akurat tentang lahan pertanian, maka akan diketahui jumlah dan siapa pemilik lahan pertanian tersebut, lengkap dengan data koordinat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam perencanaan dan target yang ingin dicapai pemerintah.
Terkait dengan antisipasi krisis pangan, lanjutnya, menurut data Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organisation), Indonesia akan mengalami krisis pangan jika lahan pertanian yang ada tidak dipertahankan dan terus beralih fungsi ke sektor lain.
Sebagai negara agraris, alangkah tidak lucunya jika Indonesia mengalami krisis pangan.
Begitu pula dengan Provinsi Kaltim yang tanah subur dan masih banyak lahan yang terlantar, tetapi hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan pangan, hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus.
Kaltim memang dimanjakan oleh alam yang menyimpan minyak, gas, dan batu bara, jadi meskipun petaninya tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan lokal, tetapi masyarakatnya mampu membeli beras dan bahan pangan dari daerah lain, bahkan negara lain.
Semua elemen harus sadar bahwa batu bara, minyak dan gas yang hingga kini masih menjadi andalan dan menjadi penopang utama perekonomian Kaltim, suatu ketika akan habis karena tidak bisa diperbarui.
Menurut Ibrahim, beberapa negara telah krisis pangan, oleh karena itu Indonesia harus mempersiapkan dan mempertahankan lahan-lahan pangan yang dimiliki.
Saat ini saja sebenarnya Kaltim sudah berhadapan dengan krisis pangan karena petani setempat belum mampu mencukupi permintaan warga.
Apabila di tengah situasi ini kemudian berminggu-minggu terjadi angin kencang dan cuaca buruk yang menyebabkan kapal tidak dapat berlayar, maka tidak akan ada sedikitpun bahan pangan yang sampai ke Kaltim.
Beras, palawija, dan aneka jenis makanan lain yang dikonsumsi warga Kaltim masih banyak yang didatangkan dari luar pulau, seperti dari Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Barat. Hanya sedikit yang didatangkan dari provinsi terdekatnya, yakni Kalimantan Selatan.
Pertanian Modern
Ibrahim mengatakan Dinas Pertanian Tanaman Pangan akan mengarahkan petani menjadi petani modern, yakni petani yang mampu mengolah lahan pertaniannya dengan peralatan maupun permesinan modern.
Modernisasi pertanian perlu dipacu karena untuk efisiensi waktu, penggunaan dana, dan menghemat tenaga kerja sehingga satu keluarga yang memiliki lahan pertanian 2 hektare mampu mengerjakannya sendiri dengan bantuan mesin modern.
Pemanfaatan teknologi tersebut dapat menghindari kehilangan produksi pasca panen dan efisiensi waktu, pasalnya dengan penggunaan mesin pertanian akan dapat mempercepat produksi tanaman pangan, yakni sejak masa tanam hingga waktu panen.
Penggunaan mesin modern untuk menanam padi di lahan 1 hektare hanya dibutuhkan waktu 4 hingga 5 jam, sedangkan menanam padi secara manual memerlukan waktu 2 hingga 3 hari meskipun tenaga kerja yang dilibatkan lumayan banyak.
Selain mengarahkan petani ke sistem modern, lanjut dia, pengembangan usaha pertanian juga diarahkan dengan System Rice Intensifications (SRI) atau teknik budidaya intensif dan efisien yang banyak menguntungkan petani.
Kelebihan sistem ini akan mendapatkan keuntungan yang sangat banyak sehingga kaum muda juga akan tertarik menerapkannya, pasalnya kaum muda akan tertarik dengan penghasilan yang hingga puluhan juta tiap hektare sawah.
Selama ini para generasi muda yang enggan bertani padi karena penghasilannya yang kecil sehingga mereka lebih memilih bekerja di kota, tetapi dengan SRI, maka akan dapat menarik generasi muda dalam bertani.
Menurut Rusdiansyah, Akademisi Fakultas Pertanian dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, pengembangan pertanian tanaman padi dengan pola tanam SRI, setiap hektarenya hanya memerlukan Rp6 juta, tetapi hasilnya lumayan besar karena gabah kering panen yang diproduksi bisa mencapai 8 ton GKG.
Jumlah tersebut jika dikonversi menjadi beras akan setara pada kisaran 5 hinga 6 ton beras. Apabila dikalkulasi setelah dijual, maka keuntungannya bisa mencapai Rp44 juta dengan estimasi harga beras Rp10 ribu per kilogram.
Rincianya adalah 5 ton dikali Rp10 ribu, sehingga pendapatan kotor sebesar Rp50 juta, kemudian dikurangi modal tanam yang sebanyak Rp6 juta, maka keuntungan bersih petani mencapai Rp44 juta per hektare.
Pola tanam SRI tidak beda jauh dengan pola tanam yang selama ini sudah dilakukan petani, yakni olah tanah, bibit, dan tanam varietas. Perbedaannya hanya terletak pada cara yang intensif dan efisien.
Jika sebelumnya menggunakan bibit tua usia 20-40 hari, sekarang bibit usia 14 hari. Jika sebelumnya semaian basah, pola SRI dengan semai kering untuk memudahkan tanam. Jika sebelumnya dilakukan tanam mundur, maka sistem ini menggunakan tanam maju dan terarah.
Penerapan pola itu menjadikan penggunaan bibit lebih hemat yang tergantung pada lebaran penyemaian. Selain itu, jarak semainya lebar juga menguntungkan dari sisi hasil anakan dan antisipasi serangan hama tikus.
Tanaman yang tidak rapat atau ditanam jarang-jarang, maka tikus tidak berani melintas di persawahan karena tikus juga punya rasa takut dibunuh orang.
Melihat dari prospek, potensi, dan komitmen pemerintah dalam memajukan pertanian tersebut, maka tidak ada alasan bagi Kaltim untuk tidak bisa meningkatkan produksi dan produktivitas padi sehingga ke depan daerah itu akan mampu menjadi swasembada, bahkan bisa surplus beras. (*)
Meneropong Masa Depan Pertanian Kaltim
Senin, 9 Desember 2013 14:29 WIB