Samarinda (ANTARA) - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalimantan Timur (Kaltim), Slamet Brotosiswoyo menyatakan penetapan upah minimum pekerja (UMP) 2023 yang disahkan oleh Gubernur Kaltim masih belum final. Pasalnya, Apindo menolak dasar penentuan UMP tahun 2023 tersebut.
“Apindo Kaltim ingin UMP didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang ketentuan pengupahan berdasarkan musyawarah bersama Dewan Pengupahan Daerah dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim,” kata Slamet di Samarinda, Selasa.
Dia membeberkan bahwa awalnya Dewan Pengupahan pada 15 Nopember sudah menyepakati untuk mengacu pada PP Nomor 36 Tahun 2021 dengan kenaikan UMP sebesar 4,55 persen, namun ternyata tanggal 17 Nopember ada undangan menghadiri perundingan UMP lagi, mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 yang diterbitkan tanggal 16 Nopember lalu.
"Kami kaget karena awalnya sudah disepakati kenaikan 4,55 persen, begitu tanggal 17 Nopember kami diundang lagi untuk berunding kembali terkait adanya edaran Permenaker tersebut, maka sebelum perundingan kami ajukan keberatan kepada pak Gubernur," kata pria yang memimpin Apindo Kaltim sejak 2009 ini.
Apindo Kaltim menyatakan tegas menolak Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 yang menurut Slamet dalam kontruksi hukum bertabrakan karena aturan PP jelas lebih tinggi.
Slamet menyebutkan,di dampingi Kuasa Hukum Denny Indrayana, Apindo pusat resmi meminta pembatalan Permenaker 18 Tahun 2022 ke Mahkamah Agung (MA). Senin (28/11). Kuasa hukum Apindo secara resmi mendaftarkan permohonan uji materi atas Permenaker tersebut ke MA.
“Permohonan keberatan tersebut telah dibayarkan biaya perkaranya, dan tinggal menunggu proses administrasi di MA, sebelum disidangkan,” jelas Slamet.
Slamet mengutip pernyataan dari kuasa hukum bahwa Permenaker 18 Tahun 2022 menambah dan mengubah norma yang telah jelas mengatur soal upah minimum di dalam PP Pengupahan, sehingga Permenaker tersebut nyata-nyata bertentangan dengan PP yang secara kedudukan hukum jelas lebih tinggi.
Dia menambahkan, lebih jauh Menaker tidak berwenang untuk mengambil alih otoritas Presiden untuk mengatur upah minimum yang sudah ada jelas didelegasikan pengaturannya ke dalam PP Pengupahan.
Apalagi pengubahan kebijakan melalui Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut dilakukan mendadak tanpa sama sekali melibatkan para stakeholder, termasuk tanpa ada pembahasan dengan Dewan Pengupahan Nasional dan Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional.
Kesemuanya menyebabkan dilanggarnya prinsip kepastian hukum, sekaligus menghadirkan ketidakpastian yang memperburuk iklim investasi nasional.
“Perlu ditegaskan, pengajuan pembatalan Permenaker 18 tahun 2022 adalah ikhtiar dari kami para pengusaha untuk menciptakan iklim berusaha dan investasi yang sehat.
Lanjutnya, bayangkan saja, upah minimum sebesar itu menggaji karyawan dengan usia kerja 0-1 tahun sangat rentan bagi produktivitas perusahaan karena kita masih belum tahu kompetensi mereka. Ditambah lagi masih dalam masa pemulihan terhadap COVID -19 karena situasi ekonomi masih belum begitu stabil.
Slamet menambahkan jika permohonan uji materi tersebut merupakan bagian dari ikhtiar Apindo dan keputusan MA nantinya akan diikuti. Sebab pada prinsipnya Apindo harus taat hukum apapun hasil keputusannya.
“Sebab masa berlaku UMP di bulan Januari 2023, jadi Apindo masih punya waktu untuk melakukan proses uji materi tersebut,” katanya.