Samarinda (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi meminta agar partai elite tidak menggunakan hasil survei kepuasan publik demi agenda perpanjangan masa jabatan Presiden, karena masyarakat yang puas dengan kinerja Jokowi bukan berarti meminta perpanjangan.
"Masyarakat Indonesia mampu berfikir kompleks. Puas dengan kinerja presiden tidak lupa dengan kerja konstitusi," kata Burhanuddin dalam Webinar "Telaah Kritis Usul Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden", Sabtu.
Ia menyebut pemilih dan pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin di garis terdepan bahkan menolak agenda perpanjangan dan tetap merasa pemilihan umum (pemilu) harus tetap diadakan sesuai jadwal.
Dijelaskan Burhan, berdasarkan data Lembaga Survei Indonesia (LSI), penolakan di kalangan mereka yang menyadari atau tahu dengan isu perpanjangan tersebut jauh lebih tinggi daripada mereka yang tidak tahu.
"Semakin masyarakat tahu usulan perpanjangan justru penolakan semakin tinggi. Jadi hati hati buat para elite. Alih-alih mengubah sikap publik malah makin tinggi lagi penolakan nya," tuturnya.
Ia mengungkapkan berdasarkan data LSI, terdapat sekitar 20,3 persen masyarakat yang setuju Presiden Jokowi diperpanjang masa jabatannya hingga 2027 tanpa Pemilu karena pandemi COVID-19 yang belum berakhir.
Sedangkan mayoritas sekitar 70,7 persen masyarakat lebih setuju Presiden Jokowi harus mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2024 meski pandemi belum berakhir.
"Apapun alasannya, sesuai konstitusi Presiden Joko Widodo harus mengakhiri masa jabatannya pada tahun 2024," tegasnya.
Selain alasan pandemi yang belum berakhir, alasan lainnya ialah memulihkan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi dan memastikan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) berjalan baik.
"Apapun alasannya, ketiganya tidak mampu mengalihkan atau mengubah sikap responden masyarakat Indonesia," jelasnya.
Ia menambahkan, dalam politik demokrasi elite seharusnya selalu mengikuti apa yang diinginkan warga.
"Kalau warganya taat konstitusi harusnya elite lebih taat. Jangan memberikan contoh yang tidak baik," imbau Burhan.
Ia berpesan siapa saja tidak mengeluarkan ide yang bertentangan dan memantik kontroversi yang mengganggu agenda pemulihan ekonomi nasional.
Dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar menegaskan konstruksi ketatanegaraan Indonesia ialah konstitusionalisme.
"Dalam Undang Undang Dasa sudah jelas Pemilu adalah lima tahun sekali," terangnya.
Ia menjelaskan, menunda Pemilu atau memperpanjang masa jabatan Presiden merupakan logika yang hadir di negara non demokratis seperti Rusia dan Turki.
Ia pun mengimbau siapa saja untuk tidak sekali-sekali bermain dengan masa jabatan karena melanggar prinsip demokrasi presidensial dan prinsip konstitusional.
Ia juga meminta Presiden Jokowi untuk segera tampil mengklarifikasi agar masyarakat bisa membedakan antara diinisiasi kekuasaan atau diinisiasi partai politik.
"Presiden harus turun, kalau tidak segera dinetralisir maka akan menjadi bola liar yang mengganggu perekonomian," katanya.
Tak hanya itu, ia mengatakan partai politik harus segera menyesuaikan karena perpanjangan masa jabatan yang melebihi dua periode dianggap sebagai tamparan untuk partai politik.
"Kalau tidak ada yang bisa melanjutkan pembangunan seakan-akan PDIP, Golkar, Nasdem tidak punya kader yang layak sehingga harus pasang orang lama lagi," tegasnya.
Untuk itu, menurutnya penolakan partai bagus menghidupkan demokrasi yang baik untuk mengawal penolakan isu tersebut.
"Mari kita cari Presiden baru yang jangan-jangan bisa lebih meroket, bukan sekedar janji meroket tapi benar-benar meroket," ajaknya.