Samarinda (ANTARA Kaltim) - Waktu menunjukkan pukul 16.35 Wita, ketika Muddin sedang "nongkrong" di dermaga Pelabuhan Internasional Tunon Taka Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur bersama dua temannya sesama buruh angkut.
Mereka tampak bercengkrama dan bercanda tawa, entah apa yang dibicarakan. Ketiganya mengenakan kostum lengan panjang warna kuning strip biru. Mudin sesekali menyapa buruh lainnya dan mengajaknya untuk rehat sejenak sambil menunggu kapal angkutan resmi dari Tawau Malaysia.
Tak lama kemudian, tiga buruh angkut menghampirinya, dan langsung melemparkan pertanyaan disertai canda. "Kalian di sini tunggu apa?" kata salah seorang teman Mudin yang baru saja menghampirinya.
Mudin mengaku sudah empat tahun menjadi buruh angkut di Pelabuhan Internasional dan Domestik Tunon Taka milik PT Pelindo (Persero) Cabang Kabupaten Nunukan. "Beginilah nasib kita demi mendapatkan sesuap nasi," ucapnya lirih sambil mengumbar senyum simpulnya yang khas.
Keenam buruh tersebut larut dalam perbincangan ringan penuh gurauan. Sesekali di antara mereka ada yang bendiri dan memegang gerobak miliknya. Tak lama, kapal angkutan resmi KM Labuan Ekspres mulai terlihat dari kejauhan, dan diperkirakan sekitar 10 menit lagi telah merapat di dermaga. Tampak di atap dan bagian depan kapal banyak barang yang bertumpuk.
Mudin mengatakan dirinya sengaja datang lebih awal sebelum KM Labuan Ekspres tiba, karena dia telah dihubungi oleh "bosnya", salah seorang pengurus tenaga kerja Indonesia (TKI) sejak masih di Tawau untuk menjemput penumpang beserta barangnya.
Ia mengaku, setiap angkut barang TKI dirinya mendapatkan upah sebesar Rp100.000 dari pengurus penumpang yang telah menjadi langganannya. Begitu kapal merapat, buruh angkut di Pelabuhan Internasional Tunon Taka tersebut berdesak-desakan naik di kapal mencari barang penumpang yang sebagian besar TKI asal Negeri Sabah Malaysia.
Mudin yang baru berusia 29 tahun, tampak sangat kuat dan bersemangat memikul barang dari kapal untuk ditaruh di gerobaknya. Ia mampu memikul sampai dua barang yang tampak sangat berat. Sementara tangan kanannya pun memegang barang yang ukurannya agak kecil dan ringan.
Aktivitas ini menjadi rutinitas baginya setiap hari baik dari kapal angkutan resmi Nunukan-Tawau Malaysia atau sebaliknya maupun ada kapal yang tiba di Pelabuhan Domestik Tunon Taka.
Dalam sehari, Mudin menuturkan mampu mendapatkan upah hingga Rp300.000. "Kalau jumlah barang penumpangnya bos, bayarannya juga lumayan sampai Rp300.000 dalam satu hari. Jadi tergantung jumlah barang saja," kata buruh angkut yang tinggal tak jauh dari Pelabuhan Tunon Taka itu.
Penghasilan dari pekerjaannya sebagai buruh angkut, dia mengaku mampu menghidupi istri dan kedua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Ia pun mengatakan, sisa dari biaya kebutuhannya setiap hari disimpan buat persiapan masa depan keluarganya.
"Saya harus simpan duit mulai sekarang supaya kelak anak saya sekolah tidak kesulitan lagi," ujarnya, dengan menundukkan wajah menyapu peluh di dahinya yang mulai membanjir membasahi wajahnya.
Sebagai pekerja kasar, Mudin siap menghadapi tantangan kehidupan ini, meskipun dia memiliki ijazah SMA. Makanya, dia mengharapkan anak-anaknya kelak dapat menuntut ilmu agar dapat menjadi orang yang berguna dan memiliki masa depan yang lebih cerah.
"Saya wajib banting tulang demi memenuhi kebutuhan sandang pangan anak istri di rumah," katanya, dengan mata memandang kosong entah apa yang mengganggu pikirannya.
Rahman, buruh angkut lainnya, mengaku memilih menjadi buruh angkut. Menurut dia, buruh angkut merupakan pekerjaan yang mudah diperolehnya sebagai warga yang tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi.
Meskipun demikian, dia tidak pernah berputus asa dan tetap memegang dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Pria yang tampak kocak dan cuek ini mengaku tidak pernah mengabaikan urusan kebutuhan hidup keluarga dengan seorang istri dan empat anaknya. Dua di antara anak kini sedang menuntut ilmu di SMP dan SD.
Ia berharap bisa mengumpulkan uang untuk masa depan anak-anaknya.
"Saya harus bersyukur karena upah cukup untuk biaya kehidupan keluarga setiap hari," katanya seraya menambahkan, kalau tidak ada kapal dari Tawau Malaysia mungkin saja dia tidak bisa menghidupi keluarga.
Sebab, jika hanya mengandalkan pelabuhan domestik tiga kali seminggu itu kemungkinan biaya untuk dirinya pun tidak mencukupi. Makanya keberadaan kapal KM Thalia dan KM Cattleya Ekspres milik perusahaan swasta yang mengangkut TKI dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat tujuan Sabah Malaysia sangat membantu kehidupan masyarakat kecil di Kabupaten Nunukan.
Bayangkan saja, kata Rahman, jumlah buruh angkut pada kedua pelabuhan yang bersebelahan ini sekitar 200-an orang dengan mengandalkan upah dari hasil angkut barang penumpang.
Ia menceritakan, kerja seberat seperti ini adalah hal yang biasa karena di kampung halamannya di Sulawesi Selatan, dia juga juga bekerja sebagai petani.
Ditambahkannya, keberadaannya di Kabupaten Nunukan sejak lima tahun lalu, berawal dari sepulang dari Sabah Malaysia menjadi TKI ilegal. Mengamati kehidupan dinilai lebih mudah mendapatkan uang, akhirnya memilih tinggal di daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia tersebut.
Rahman membandingkan, kerja sebagai buruh angkut di pelabuhan jauh lebih baik dibandingkan dengan kerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia yang seringkali terusik oleh petugas di negeri jiran karena tidak memiliki dokumen sah (paspor) sebagai pekerja asing.
Dari waktu ke waktu, Rahman melalui hari-harinya di Kabupaten Nunukan. Mulai bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan dari ajakan kenalannya memintanya membantu angkut barang TKI dengan menarik gerobak.
Lama kelamaan, setelah upah yang diperolehnya sisa dari biaya hidup sehari-hari keluarganya dikumpulkan dan membuat gerobak sendiri. Saat ini, Rahman mengaku memiliki tiga orang pengurus TKI menjadi langganannya.
Ketiga pengurus penumpang tersebut, dia mengaku kadangkala kewalahan mengangkut barang milik penumpang "bosnya" jika datang bersamaan, sehingga menggunakan tiga orang buruh pembantu dengan memberi upah Rp50.000 tergantung dari jumlah barang.
Pria yang telah berusia 43 tahun itu mengatakan, dengan pekerjaan yang ditekuninya ini, dia bahkan mampu membeli tanah kaplingan dan membangun rumah sederhana yang ditinggali bersama keluarganya saat ini.
Selain itu, ketekunannya dan hubungan baik serta tanggung jawabnya yang dibangun selama bertahun-tahun dengan ketiga "bosnya" itu sehingga jasanya tetap dipakai sampai sekarang. Jika dihitung-hitung kata dia, penghasilannya setiap hari mencapai Rp500.000 setelah upah "pembantunya" dikeluarkan.
Perjuangan Mudin dan Rahman sebagai buruh angkut di pelabuhan, meskipun dengan peluh yang bercucuran asalkan mampu membelikan segala kebutuhan anak istrinya termasuk membelikan perhiasan emas.
Kesuksesan kedua buruh ini, tidak tertutup kemungkinan juga dirasakan ratusan buruh angkut pelabuhan lainnya. Sebab salah seorang pengurus penumpang (TKI) bernama Jabbar mengatakan, upah yang diperoleh buruh angkut di Pelabuhan Tunon Taka Kabupaten Nunukan cukup besar apalagi mampu menjaga kepercayaan dari tanggung jawab menjaga keamanan dan keselamatan barang penumpang.
Pengurus TKI ini mengaku, penghasilan buruh angkut biasanya lebih banyak daripada "bosnya" apalagi jasanya dipakai dua sampai tiga orang pengurus penumpang.
Ia menambahkan, upah angkut yang diberikan hitungannya lain dari Pelabuhan Internasional Tunon Taka dan masuk ke pelabuhan domestik.
"Jadi wajar kalau penghasilannya besar, karena buruh pelabuhan mengangkat barang naik kapal hingga bertugas mencarikan tempat barang di atas kapal," ujarnya. (*)
