Nunukan (ANTARA Kaltim) - Siang itu Hasniati masih terlihat bersemangat menjajakan barang dagangannya kepada para penumpang kapal yang baru tiba di Pelabuhan Tunon Taka, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.
Tidak terlihat sedikit pun rasa lelah meski sejak pagi hari berjibaku melakukan tugas rutinnya. Butiran keringat yang mulai tampak keluar dari pori-pori dahi dan lehernya, tidak dihiraukan Hasniati.
Senyuman ceria justru ditunjukkan Hasniati tatkala memberikan uang kembalian kepada seorang pembeli yang memberinya lembaran Rp50.000.
Seolah berlomba dengan belasan pedagang asongan lainnya, Hasiati yang menjual selimut dan baju itu pun kembali "memburu" pembeli yang kebanyakan adalah para tenaga kerja Indonesia yang datang dari Tawau, Malaysia.
Pelabuhan Tunon Taka, Kabupaten Nunukan, memang menjadi pintu masuk dan keluarnya TKI ke Tawau, Negara Bagian Sabah, Malaysia.
Karena itulah, Pelabuhan milik PT Pelabuhan Indonesia (Persero) IV Cabang Kabupaten Nunukan yang difungsikan untuk pelayaran domestik dan internasional tersebut juga menjadi tempat berjualan aneka macam kebutuhan penumpang, baik yang akan berangkat ke Malaysia maupun yang baru pulang ke kampung halamannya.
Para TKI yang sebagian besar bekerja pada perkebunan kelapa sawit di Malaysia itu tentu membawa berkah bagi sebagian masyarakat Kabupaten Nunukan khususnya bagi para pedagang asongan.
Hasniati mengaku sangat terbantu dengan diberikan kesempatan untuk berjualan di atas kapal pada saat armada milik PT Pelni Tbk maupun armada milik perusahaan swasta tiba dan berangkat di pelabuhan tersebut.
Ia mengaku berdagang asongan untuk membantu sang suami yang bekerja sebagai buruh angkut di pelabuhan yang sama, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya terutama untuk biaya pendidikan ketiga anaknya yang masih sekolah.
"Walaupun penghasilan yang saya peroleh dari berjualan di atas kapal ditambah dengan penghasilan suami saya yang bekerja sebagai buruh angkut sangat pas-pasan, asalkan anak-anak saya dapat bersekolah tinggi," ucap Hasniati yang menjual selimut dan baju "Bali" ini sambil melayani seorang pria yang akan pulang ke Sulawesi Selatan setelah tiga tahun bekerja sebagai TKI pada perkebunan kelapa sawit di Lahaddatu Sabah Malaysia.
Dia mengatakan menjadi pedagang asongan adalah pilihan yang tepat sebagai warga yang tidak pernah mengeyam pendidikan tinggi, namun bermimpi agar kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.
"Saya bersama suami tidak punya sekolah tinggi, makanya ketiga anak-anak saya harus menuntut ilmu setinggi mungkin selama bisa membiayainya," ujarnya sesekali memegang selimut dan baju "Bali" di bahunya.
Ia menuturkan, berjualan selimut dan baju "Bali" di atas kapal sudah ditekuni sejak lima tahun silam dan mampu menjual paling banyak lima lembar setiap kapal sandar dengan total keuntungan Rp35.000. Selimut dijual seharga Rp35.000 dan baju "Bali" seharga Rp35.000-Rp40.000 per lembar.
Wanita berusia 43 tahun itu mengatakan, anak sulungnya saat ini masih duduk di kelas I Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri I Nunukan, anak kedua kelas II di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri I Nunukan Selatan dan anak ketiganya masih duduk di kelas V Sekolah Dasar (SD) Negeri 004 Nunukan.
Dari ketiga anaknya, setiap hari membekali Rp15.000 untuk ongkos kendaraan dan jajan. Jadi dengan hitung-hitungan minimal harus mengeluarkan minimal Rp50.000 setiap hari termasuk biaya hidup sehari-hari di rumahnya.
"Saya bekerja begini demi sekolah anak-anak, mudah-mudahan tidak seperti ibu dan bapaknya yang bekerja kasar karena tidak punya ijazah," tuturnya tersipu malu.
Perempuan berkulit putih ini mengungkapkan, selain untuk biaya sekolah anak-anak, sisa penghasilan yang diperolehnya bersama suaminya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan disimpan untuk memenuhi kebutuhan lain yang mendesak.
Hampir sama dengan Hasniati, Sompa (62 tahun), pedagang asongan lainnya, mengaku telah melakoni berjualan di Pelabuhan Tunon sejak 20 tahun silam dengan menjual nasi kotak dan makanan ringan lainnya serta minuman kemasan botol sebagai bekal bagi penumpang kapal yang akan berangkat ke kampung halamannya maupun yang ke Sabah Malaysia.
Sompa mengaku mampu membiayai pendidikan ke delapan anaknya hingga tamat setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
Dengan menggantungkan hidupnya dengan mencari nafkah di Pelabuhan Tunon Taka, Sompa berkisah bahwa suaminya pun bekerja sebagai buruh kasar semasa masih sehat. Namun saat ini suaminya tidak mampu bekerja berat lagi akibat kekuatan tubuhnya semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia, sehingga kebutuhan hidup sehari-hari diembannya sendiri.
"Kedelapan anak saya telah menikah. Jadi mencari nafkah untuk kebutuhan berdua dengan suami," tuturnya.
Ia menambahkan, hasil dari berjualan makanan dan minuman yang sebagian titipan orang lain tersebut, dalam sehari (setiap ada kapal) mampu mendapatkan keuntungan sebesar Rp45.000 dari total penjualan Rp200.000-Rp300.000.
"Kalau nasi kotak dan air minum (kemasan botol) ini, cuma titipan orang lain untuk dijualkan. Kalau gogos dan buras punya sendiri," ujarnya.
Dalam sehari, Sompa yang berasal dari Sulawesi Selatan mengungkapkan, mampu menjual sekitar 10-15 nasi kotak dengan keuntungan Rp500 per kotak dan air minum kemasan isi 1,5 liter sebanyak 15 botol dengan keuntungan Rp1.000 per botol.
Demi anak-anaknya agar bisa bersekolah, ia mengaku rela banting tulang dengan menggunakan modal awal dari upah kerja suaminya saat masih bekerja sebesar Rp200.000 dengan membuat buras dan gogos. "Cuma jual buras dan gogos sampai semua anak-anak saya tamat sekolah," ujarnya.
Ia juga mengatakan, sewaktu anak-anaknya masih sekolah dan belum menikah seringkali membantunya berjualan di atas kapal dengan menjajankan jualan kepada penumpang di Pelabuhan Tunon Taka.
Namun dia mengakui andai tidak ada TKI, maka tidak mungkin mampu membiayai hidup dan pendidikan anak-anaknya selama ini. Oleh karena itu, Sompa sangat berterima kasih atas keberadaan TKI yang keluar masuk Sabah Malaysia melalui Kabupaten Nunukan.
Keberkahan berjualan di Pelabuhan Tunon Taka juga dialami Najamuddin, pedagang asongan yang memiliki tempat khusus berjualan di area dermaga Pelabuhan.
"Kalau tidak ada para TKI, kami pedagang asongan kemungkinan tidak mampu menyambung hidup setiap hari apalagi untuk membiayai sekolah anak-anak," katanya.
Menurut Najamuddin, selama 25 tahun berjualan di pelabuhan itu sebagian besar pembelinya adalah TKI. Sementara pembeli lainnya dari buruh-buruh bongkar muat pada kapal ekspedisi.
Setiap harinya, dia mampu memperoleh hasil penjualan rokok, minuman dingin dan segar sebesar Rp1 juta dengan keuntungan sekitar Rp300.000.
Sebagai pedagang asongan terlama di pelabuhan itu, Najamuddin mengaku seringkali dibantu oleh anak perempuannya yang telah tamat SMA untuk mencari nafkah guna memenuho kebutuhan empat dari enam anaknya yang masih sekolah.
Najamuddin dengan jujur mengakui bahwa modal yang dipergunakan adalah pinjaman dari sebuah koperasi di daerah itu dengan sistem pembayaran setiap hari sebesar Rp20.000 untuk pinjaman Rp500.000. "Modal yang saya pakai jualan ini, pinjaman dari koperasi," ujarnya.
Melalui pinjaman dari koperasi tersebut, dia mampu mengelolanya dengan baik sehingga jualannya terus berkembang dengan penghasilan yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dan biaya pendidikan kedua anaknya yang masih sekolah di SMA dan SMP meskipun pembeli hanya mengandalkan penumpang kapal (TKI) dan buruh pelabuhan.
Pria yang terlihat mulai uzur namun masih tampak kuat dan semangatnya itu tetap berusaha ceria saat melayani setiap pembeli. Najamuddin kerap melontarkan guyonan terhadap para pembeli. "Kalau tidak begitu, mana bisa banyak pembeli. Jadi salah satu cara menarik pembeli tentunya perlu guyon sedikit pada orang," tuturnya.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Pedagang Asongan (Himpedas) Kabupaten Nunukan, Nurdin, mengatakan, pembinaan terhadap pedagang asongan yang jumlahnya mencapai 200-an sangat diharapkannya, terutama dalam hal keamanan dan ketenangannya selama berjualan di dalam area Pelabuhan Tunon Taka.
Nurdin yang sehari-harinya bekerja sebagai penukar mata uang rupiah dan ringgit Malaysia ini meminta kepada seluruh instansi yang berkaitan dengan pelabuhan dapat memberikan jaminan kenyamanan bagi pedagang asongan karena area pelabuhan menjadi satu-satunya tumpuan seluruh anggotanya mencari nafkah.
Pelabuhan Tunon Taka menjadi tempat persinggahan tiga armada kapal milik PT Pelni Tbk, dua kapal penumpang milik perusahaan swasta yakni KM Thalia jenis roro dan KM Cattleya Ekspres. Kedua kapal swasta ini khusus muat penumpang Nunukan-Parepare (sulsel) atau sebaliknya.
Selain sebagai sarana pengangkutan penumpang, Pelabuhan itu juga banyak digunakan kapal-kapal ekspedisi dan tanker bahan bakar minyak (BBM) milik PT Pertamina, sehingga tidak pernah sepi dari aktivitas bongkar muat.
Hasiati, Sompa, Najamuddin, dan para pedagang lain tentu berharap Pelabuhan Tunon Taka tidak pernah sepi, baik dari aktivitas TKI maupun bongkar muat barang lainnya.
Mereka sangat menyadari bahwa dari lokasi di beranda terdepan perbatasan Indonesia-Malaysia itulah, mereka menggantungkan hidup hingga mampu menyekolahkan anak-anak untuk meraih "mimpi" masa depan yang lebih baik. (*)