Tanjung Redeb (ANTARA News Kaltim) - Sekitar 60 warga Pulau Derawan Kalimantan Timur sejak Minggu (23/9) menduduki Pulau Sangalaki menuntut agar pengelolaan konservasi laut Berau, termasuk penyu, dikelola warga bukan oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan LSM.
"Sudah hampir sepuluh tahun kami menjadi penonton, pengelolaan konservasi penyu bukan dikelola atau dikembalikan kepada masyarakat seperti 1990-an, sehingga kami hanya menjadi penonton," kata Yakobus didampingi H Budi, warga Pulau Derawan, Senin.
Berlatar belakang protes itu, Pulau Sangalaki diduduki oleh masyarakat yang mayoritas nelayan, bahkan pada Minggu (23/9), kata Yakobus.
Rombongan warga berkumpul sekitar pukul 08.00 Wita, kemudian menggunakan 1 kapal dan 2 speed boat menuju Pulau Sangalaki.
Sesampai di sana sekitar pukul 10.00 wita, pihaknya meminta petugas BKSDA dan LSM WWF (Word Wife Foundation for Nature) yang ada di sana untuk mengosongkan pulau.
"Kami meminta untuk mengosongkan Pulau Sangalaki," kata Yakobus yang diamini oleh Budi yang juga pemilik salah satu penginapan di Pulau Derawan.
Menurut Yakobus, tindakan warga itu dilatarbelakangi laporan masyarakat nelayan, bahwa nelayan yang kerap beretduh di Pulau Sangalaki jika cuaca tidak bagus, namun diusir oleh BKSDA di Pulau Sangalaki.
Inilah salah satu pemicu di samping kebijakan pemerintah pusat yang mendaulat konservasi dikelola bukan masyarakat setempat atau sekitar pulau.
Di sisi lain, tambah Budi, tamu-tamu yang pernah menginap di Pulau Sangalaki juga melapor kalau mereka dimintai dana jika menginap, seperti membawa kamera, handycam, harus setor kepada BKSDA.
"Kami memiliki bukti-bukti itu ," kata Yakobus.
Padahal tambah budi, ketika ada lokakarya dengan LSM di Pulau Derawan, sekitar tahun 2000-an, semua berkomitmen bahwa nelayan boleh singgah di Pulau Sangalaki. "Toh Sangalaki bagian dari Kepulauan Derawan," katanya.
Yang mengherankan warga di Pulau Derawan, kata Yakobus, bahwa yang dikonservasi dengan tujuan agar satwa langka penyu hijau (chelomia mydas) itu punah yakni di antaranya Pulau Bilang Bilang, Mataha, Maratua, namun Pulau Blambangan dikonservasi tidak ada penjaganya.
"Yang mengherankan, meski sekarang di konservasi penyu, masih banyak telur penyu beredar dijual di pinggiran jalan di Samarinda. Dari mana telur telur penyu tersebut? Bukankah peraturan pemerintah diterapkan di seluruh Indonesia, mengapa hanya di Berau yang begitu ketat, sementara di Samarinda, tidak ada yang menangkap penjual telur penyu," ungkapnya.
Sementara itu, Koordinator Program Marine Kaltim WWF, Rusli, membenarkan adanya aktivitas warga yang mengusir petugas BKSDA dan LSM sehingga menghentikan kegiatan konservasi di Pulau Sangalaki.
"Bahkan turis yang sedang berwisata juga diminta untuk mengosongkan pulau," kata Rusli.
Dia mengatakan, protes warga ini dipicu dampak ketatnya aturan perdagangan jual beli telur penyu di Kabupaten Berau, serta pungutan biaya yang masuk ke kawasan konservasi.
Sedangkan Camat Pulau Derawan Zulfikar yang dikonfirmasi menyebutkan dalam waktu secepatnya pihaknya akan memfasilitasi warga pulau Derawan untuk pertemuan dengan BKSDA, untuk mencarikan solusi dari permasalahan ini.
"Terlebih dahulu saya bertemu Bupati Makmur untuk meminta arahan mengenai permasalahan ini, karena aturan ini merupakan peraturan dari pusat," katanya. (*)
Warga Derawan Duduki Pulau Sangalaki
Senin, 24 September 2012 23:05 WIB